Mulai Libatkan Anak dalam Upaya Pencegahan Perkawinan Anak
JAKARTA.SJN COM,-Sebagai lanjutan dari rangkaian EduAksi pada minggu sebelumnya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengadakan EduAksi – PPPA Mengajar yang diselenggarakan di SMAN 1 Jakarta. EduAksi – PPPA Mengajar ini sebagai rangkaian kegiatan Peringatan Hari Ibu Ke-91 Tahun 2019. Mengangkat tema “Bersama Cegah Perkawinan Anak”, EduAksi hari ini diikuti oleh sekitar 100 siswa/i kelas X, XI, XII di SMAN 1 Jakarta. Jakarta (17/12).
“Anak-anak, kalian semua harus tau kalau Indonesia berada di peringkat tertinggi ke-7 di dunia dan ke-2 di ASEAN untuk tingkat perkawinan anak. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018 menunjukkan angka perkawinan anak sebesar 11,2%, artinya 1 dari 9 anak perempuan menikah pada usia anak. Jika kondisi seperti ini terus menerus dibiarkan akan menjadikan Indonesia berada dalam kondisi Darurat Perkawinan Anak,” ujar Deputi Menteri PPPA Bidang Tumbuh Kembang Anak, Kemen PPPA, Lenny Rosalin, saat menyampaikan materi pada acara EduAksi – PPPA Mengajar.
Lenny menambahkan EduAksi ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengenalkan pada anak-anak apa saja dampak dari perkawinan anak. “Terkait dengan pencegahan perkawinan anak banyak sekali upaya yang sudah, sedang, dan akan terus kita lakukan, dan tentunya dengan bergandengan tangan bersama seluruh elemen yang ada termasuk melibatkan anak itu sendiri. Dari sisi regulasi, telah direvisi batas usia perkawinan anak perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Sedangkan dari sisi lainnya, kita mempunyai lima strategi pencegahan perkawinan anak, yaitu melalui: anak itu sendiri dengan menjadikan anak sebagai pelopor dan pelapor (2P), sehingga semua anak memperoleh akses dan partisipasinya dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Selain anak, juga penting peran keluarga dan masyarakat,” tambah Lenny.
Setiap tahunnya sekitar 340,000 anak perempuan menikah di bawah usia 18 tahun. Terdapat 20 provinsi dengan prevalensi perkawinan usia anak di atas angka nasional, dan DKI Jakarta merupakan provinsi dengan prevalensi perkawinan anak terendah yaitu sebesar 4,1 persen. Tingginya perkawinan anak di Indonesia tentu sangat mengkhawatirkan, mengingat anak telah kehilangan hak-haknya yang seharusnya dilindungi oleh negara.
Sementara itu, Kepala Sekolah SMAN 1 Jakarta, Yunidar menyampaikan terima kasih kepada Kemen PPPA yang telah memilih SMAN 1 Jakarta sebagai tempat pelaksanaan EduAksi – PPPA Mengajar. “Tentunya kami sangat bangga dan senang bisa menjadi bagian dari kegiatan EduAksi ini. Saya pesan kepada anak-anak agar bisa mengambil banyak ilmu dari kegiatan ini dan manfaat yang sebanyak-banyaknya terkait dengan pencegahan perkawinan anak. Ini adalah kesempatan emas bagi kita semua, maka manfaatkan dengan baik,” ujar Yunidar.
Perkawinan anak merupakan pelanggaran atas hak anak, juga pelanggaran HAM, pelanggaran hak baik terhadap anak perempuan maupun anak laki-laki dan tentu akan berdampak lebih parah terhadap anak perempuan, karena anak-anak akan rentan kehilangan hak pendidikan, kesehatan, gizi, perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, dan tercabut dari kebahagiaan masa anak-anak. Beberapa dampaknya antara lain, komplikasi saat kehamilan dan melahirkan adalah penyebab kematian kedua terbesar untuk anak perempuan berusia 15-19 tahun, bayi yang lahir dari Ibu berusia di bawah 20 tahun berpeluang meninggal sebelum usia 28 hari/1,5 kali lebih besar dibandingkan Ibu berusia 20-30 tahun, dan perempuan menikah pada usia anak lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Komitmen Negara untuk menghentikan praktik perkawinan anak harus dilakukan sebagai bentuk dalam menjamin perlindungan anak. Negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi, termasuk dari praktik perkawinan anak, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan juga Konvensi Hak Anak. Perkawinan anak menghambat capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan pencapaian Bonus Demografi, serta menghambat dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang sudah menjadi komitmen global bersama. Untuk itulah, praktik perkawinan anak ini harus segera dihentikan demi menyelamatkan generasi ke depan.
“Langkah-langkah seperti EduAksi ini dirasa cukup efektif untuk mengenalkan dan mengajak anak bersama-sama mencegah perkawinan anak. Mereka dapat menjadi agen pencegahan perkawinan anak bagi teman dan lingkungan sekitar mereka. Sebab untuk mewujudkan Indonesia bebas perkawinan anak dibutuhkan sinergi dari seluruh pihak termasuk, pemerintah, swasta, sekolah, pendidik, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, media dan anak itu sendiri sebagai agen 2P. Mari bersama kita wujudkan Indonesia Layak Anak (IDOLA) yang pastinya bebas perkawinan anak,” tutup Lenny.