Sidang PHK Sepihak PT Tech Data, Sebagian Keterangan Saksi Ahli Penggugat Dinilai Untungkan Tergugat
JAKARTA.SJN COM.-Persidangan pemutusan hubungan kerja sepihak oleh PT Tech Data Advanced Solutions Indonesia, melalui pengadilan hubungan industrial (PHI) memasuki agenda tambahan bukti surat dari tergugat dan saksi dari penggugat.
Penggugat menghadirkan saksi dari salah satu karyawan PT Tech Data Advanced Solutions Eko Sulistyono dan ahli ketenagakerjaan Dr. Bambang Supriyanto yang merupakan dosen Hukum Ketenagakerjaan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, yang memberikan pendapat terhadap hal-hal diajukan sesuai keahliannya.
Kuasa hukum penggugat, Ronny Asril melempar pertanyaan kepada Dr. Bambang Supriyanto mengenai tindakan skorsing dilakukan perusahaan terhadap karyawan. Dia mencontohkan, ada surat dari perusahaan melarang karyawan tidak melakukan apapun.
Namun surat pelarangan tersebut tak diindahkan oleh para karyawan. Maka untuk menghindari hal serupa perusahaan memutuskan melakukan skorsing.
“Skorsing yang dilakukan sudah sesuai dengan undang-undang?” tanya Ronny Asril di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Bungur Raya, Rabu sore (5/8).
Bambang Supriyanto menuturkan, bahwa perusahaan dapat melakukan skorsing tapi dengan syarat harus membayar upah. Menurutnya skorsing bukan suatu hukuman.
“Dalam hal ini suatu perusahaan karena kalau kita kembali hubungan kerja. Jadi perusahaan punya hak menyuruh bekerja dan membayar upah,” jawab Bambang Supriyanto di muka sidang.
Sementara, kuasa hukum tergugat menanyakan mengenai jangka waktu pemberian surat peringatan untuk karyawan. “Apakah ada jangka waktu surat peringatan?” tanya pengacara tergugat Yanto Robert.
Bambang Supriyanto menerangkan, bahwa aturan surat peringatan untuk karyawan sendiri diatur pada Pasal 161 Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Masing-masing berlaku untuk paling lama 6 bulan.
Peraturan itu berbunyi, dalam hal pekerja/buruh melanggar ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan. Maka pengusaha dapat melakukan PHK setelah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga berturut-turut.
Jangka waktu berlakunya surat peringatan adalah 6 bulan, yang dianggap cukup dalam menilai apakah karyawan sudah melakukan perbaikan atas kesalahannya.
“Mekanismenya surat peringatan 1, 6 bulan kemudian, surat peringatan 2, 6 bulan. Biasanya pelanggar berat langsung diproses,” terangnya.
Robert melanjutkan pertanyaanya, apakah perusahaan dapat langsung memutuskan PHK kepada karyawan? “Tidak bisa. Karena pemutusan hubungan kerja harus ada pelanggaran berat,” jelas Bambang.
“Kategori pelanggaran berat itu bermacam-macam dan tidak selalu perbuatan pidana. Itu tergantung perusahaan dan harus diperiksa dulu oleh Disnaker,” tambahnya.
Robert menilai, sebagian keterangan saksi ahli menguntungkan pihak tergugat. Contohnya, kalau dalam peraturan perusahaan yang memberikan soal surat peringatan itu tidak diatur secara jelas. Maka pemutusan hubungan kerja dianggap tidak sah.
“Misalnya perusahaan melakukan surat peringatan ketiga, tapi perbuatan itu tidak diatur dalam perusahaan. Itu tidak valid, batal demi hukum. PHK-nya juga batal demi hukum,” imbuh Robert.
Senada, tim kuasa hukum tergugat Edward Sinaga juga menanyakan bila surat peringatan ketiga itu tidak sah, apakah konsekuensi hukumnya terhadap PHK. Konsekuensinya tentu PHK itu tidak sah.
“Penggugat memberikan surat peringatan ketiga terhadap para pekerja, sementara di dalam surat peringatan ketiga itu tidak diatur hal demikian dalam peraturan perusahaan,” tandasnya.
Sebelumnya, para karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja itu melakukan mediasi dengan Sudinnakertrans Jakarta Pusat. Kemudian mendapat anjuran kerja kembali, namun pihak perusahaan tidak menjalankan anjuran tersebut (red)