Survey MC Matrix & Bakesbangpol Jabar; Hoaks dan Intoleransi Kontribusi terbesar Ancam Pancasila
Bandung.Swara Jabbar Com.-Mayoritas masyarakat Jawa Barat menilai, ancaman terhadap Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa maraknya berita bohong atau hoaks.
Hal itu terungkap dalam survei yang diselenggarakan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Jawa Barat bersama Motion Cipta Matrix.
Survei dilaksanakan 24 Maret hingga 5 April 2022 di seluruh kabupaten dan kota di Jawa Barat. Jumlah responden 440 orang yang sudah memiliki hak pilih atau yang sudah kawin atau menikah.
Jumlah sebaran sampel responden sangat bergantung pada jumlah DPT masing kabupaten dan kota di Jawa Barat. Teknik pencuplikan menggunakan metodologi multistage random sampling (acak berjenjaang).
Adapun tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Margin of error ± 4,77 %. Menggunakan enumerator terlatih. Serta memperhatikan kualitas data dengan spot check sebanyak 20 persen dari jumlah responden.
Dalam survei diketahui, 25,68 persen responden menyatakan bahwa ancaman terhadap Pancasila datang dari berita hoaks. Bagi warga Jabar, hoax dan intoleransi berkontribusi mengancam Pancasila sebagai ideologi yang kini terus dibina.
“Ini menjadi dua temuan yang menarik. Sementara, hoaks atau berita menyesatkan merupakan ancaman yang hadir di masa kini,” ujar Peneliti dari Motion Cipta Matrix, Wildan Hakim di kantor Badan Kesbangpol Pemprov Jabar di Bandung pada Rabu, 20 Maret 2022.
Hadir pula, Sekretaris Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Jawa Barat (Bakesbangpol) Jabar Drs.Sapta Yulianto Dasuki, M.A.P dan Kepala Bidang Ideologi wawasan kebangsaan Bakesbangpol Jabar Agus Komarudin.
Menurut Wildan, persentase ancaman paham khilafah terhadap nilai-nilai Pancasila justru sangat rendah yakni hanya 2,05 persen
Wildan yang merupakan akademisi di Universitas Al-Azhar Indonesia menjelaskan paham khilafah tidak memiliki persentase ancaman yang besar terhadap Pancasila.
Hanya 2,05 persen yang menilai paham khilafah sebagai ancaman bagi Pancasila. Kemudian, 15 persen responden menilai isu intoleransi sebagai ancaman bagi Pancasila. Diikuti dengan isu SARA sebesar 8,41 persen.
Lebih lanjut, 40 persen warga Jawa Barat memahami peran Pancasila sebagai dasar negara. Kemudian, 35 persen warga menilai peran Pancasila sebagai ideologi bangsa. Dari pertanyaan lanjutan yang diajukan, diketahui sebanyak 88,86 persen responden mengaku sangat setuju Negara Indonesia dibangun berdasarkan Pancasila.
“Angka-angka persentase ini bisa memberikan gambaran yang menggembirakan. Pemahaman publik Jawa Barat masih seirama dengan kampanye Empat Pilar dari MPR serta upaya pembinaan Pancasila sebagai ideologi,” ujarnya.
Penerapan dan Pengetahuan seputar Pancasila
Sebagai ideologi bangsa, Pancasila diharapkan bisa diterapkan dalam keseharian masyarakat Indonesia. 65,91 persen menilai pendidikan Pancasila di sekolah sudah mampu membina siswa guna memahami dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian mereka.
Angka ini juga diperkuat dengan sikap 56,36 persen responden yang menyatakan bahwa Pancasila masih diterapkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari
Dalam survei ini diketahui, pendidikan sekolah masih menjadi sumber utama bagi warga Jawa Barat untuk mengetahui serta memahami esensi Pancasila. Tercatat, 86,14 persen responden mengetahui Pancasila dari sekolah.
Berikutnya, 3,41 persen responden tahu tentang Pancasila dari media massa. Artinya, menurut Wildan saluran informasi masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan mengenai Pancasila mesti ditambah. Selama ini masyarakat mendapat asupan informasi dan pengetahuan tentang
Pancasila dan turunannya hanya dari formal seperti sekolah. Pemerintah dalam hal ini seperti Kesbangpol harus mulai memikirkan saluran alternatif lain yang memudan konten Pancasila di luar sekolah.
Sebanyak 87,50 persen responden mengetahui dengan baik jumlah sila dalam Pancasila. Sisanya mengaku tidak tahu. Angka ini terbilang menggembirakan, mengingat pemahaman dasar seputar Pancasila bisa diuji dari pertanyaan; berapa jumlah sila dalam Pancasila. 78,18 persen responden juga mengingat dengan baik jumlah lambang dalam Pancasila.
Namun, saat ditanya dengan tehnik pertanyaan terbuka, dimana peneliti tidak memberikan pilihan jawaban yang bakal dipilih responden, jumlah prosentase pengetahuan masyarakat soal turunan Pancasila seperti lambang cukup mengagetkan
Hanya, 46.5 persen yang dapat menyebut lambang Sila Pertama Pancasila itu adalah Bintang. 28.8 persen yang dapat menyebut lambang Sila kedua itu adalah Rantai Emas. 34.09 persen yang dapat menyebut lambang Sila Ketiga adalah Pohon Beringin. 27.27 persen yang dapat menyebut lambang Sila Keempat adalah Kepala Banteng. 30.45 persen yang dapat menyebut lambang Sila Kelima adalah Padi dan Kapas.
Ketika model pertanyaan yang sama ditanyakan kembali ke responden namun dengan isi yang sedikit berbeda. Rupanya, hasilnya juga tidak terlalu menggembirakan.
Seperti responden diminta untuk menjawab gambar lambang sila yang ditunjukan oleh petugas surveyor. Seperti saat lambang Pohon Beringin itu sila keberapa.
“Hanya, 30.91 persen yang menjawabnya dengan benar,” ujarnya.
Wildan menuturkan, saat ditunjukan gambar lambang Rantai Emas, ada 28.18 persen yang menjawab dengan benar bahwa itu adalah lambang Sila Kedua.
Begitu juga saat ditunjukan, gambar lambang Bintang, ada 36.36 persen yang menjawab dengan benar bahwa itu adalah lambang Sila Pertama.
Demikian pula saat ditunjukan, gambar lambang Padi dan Kapas, ada 26.36 persen yang menjawab dengan benar bahwa itu adalah lambang Sila Kelima.
Terakhir, saat ditunjukan, gambar lambang Kepal Banteng, ada 20.33 persen yang menjawab dengan benar bahwa itu adalah lambang Sila Keempat.
Meskipun demikian, kata Wildan, angka prosentase mengenai pengamalan dari sila-sila Pancasila dinilai baik. Rata-rata di atas 85 persen.
Seperti toleransi soal agama dan suku atau etnis. 86,59 persen bersedia melakukan hubungan kerja dengan pemeluk agama lain.
88,63 persen bersedia bersahabat dengan dengan pemeluk agama lain. 88,86 persen bersedia bermusyawarah/berdamai dengan pemeluk agama lain jika terjadi perselisihan.
90,23 persen bersedia bertetangga dengan pemeluk agama lain. 92,27 persen bersedia bermusyawarah/berdamai dengan suku/etnis lain jika terjadi perselisihan.
92,96 persen bersedia melakukan hubungan kerja dengan suku/etnis lain. 93,41 persen bersedia bersahabat dengan dengan suku/etnis lain. 95,23 bersedia bertetangga dengan suku/etnis lain.
Mengenai wawasan kebangsaan juga mesti diperhatikan, ditambahkan Wildan. Ini dapat dilihat dari jawaban respoden ketika ditanyai dengan tehnik pertanyaan terbuka.
Seperti diminta menyebutkan kapan gerakan Budi Utomo dilahirkan. Hanya, 0.45 persen yang daoat menyebutkan 20 Mei 1908. Lalu, soal kapan Sumpah Pemuda dilaksanakan. Hanya 1.59 persen yang dapat menyebut 28 Oktober 1928.
Begitu pula soal pengetahuan is teks Sumpah Pemuda. 22.5 persen yang mengaku hafal isi teks Sumpah Pemuda. Dari jumlah prosentase tersebut, hanya 34.3 persen yang dapat menyebut dengan benar dan urutan sesuai denga nisi teks Sumpah Pemuda.
Kemudian, 16.14 persen yang dapat menyebut 20 Mei diperingati setiap tahun sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
“Karena itu saran kami, pelajaran Pancasila dan Wawasan Kebangsaan harus mulai dipikirkan kembali menjadi salah satu mata pelajaran sekolah,” ujarnya.
Kesbangpol yang mempunyai tugas pokok menyelenggarakan fungsi penunjang urusan pemerintahan bidang kesatuan bangsa dan politik, meliputi ideologi dan wawasan kebangsaan, perlu mendapat dukungan semua stake holder untuk menjadi dirigen utama dalam memitigasi isu-isu soal Pancasila dan Wawasan Kebangsaan.
“Pemprov Jabar melalui Bakesbangpol perlu terus meningkatkan peranannya dalam mitigasi isu Pancasila dan Wawasan Kebangsaan melalui berbagai kegiatan dan ini tentunya membutuhkan peningkatan alokasi anggaran untuk kegiatan tersebut,” ujar Wildan.(*)