Kaligrafi Tiongkok
Bandung.Swara Jabbar Com.-
Oleh Jeremy Huang Wijaya
美丽的文字是可以唤起生活精神的文字
Měilì de wénzì shì kěyǐ huànqǐ shēnghuó jīngshén de wénzì artinya Tulisan Indah adalah Tulisan yang dapat membangkitkan semangat kehidupan.
Banyak kaligrafi yang kita kenal yaitu Kaligrafi Jepang, Kaligrafi Tiongkok (68 Kaligrafi China), Kaligrafi Arab dan Kaligrafi Korea.
Kaligrafi Tiongkok pertama kali muncul pada masa Dinasti Shang (1600 – 1046 SM) Namun baru berkembang pada Dinasti Han (206 SM – 220 M). Pada akhir Dinasti Han, karakter Hanzi memulai era baru, yakni penulisan karakter sebagai sebuah seni. Kaligrafi sangat diperlukan sebagai bagian penting dari kekayaan intelektual di Tiongkok.
Awal mula Seni Kaligrafi Tiongkok Shufa (书法) tidak dapat lepas dari sejarah penemuan tinta, kertas dan kuas (毛笔; Maobi) untuk yang pertama kali di dunia di temukan oleh bangsa Tiongkok, bangsa tertua di dunia. Tercatat dalam sejarah, adalah peradaban Tiongkok yang menyumbangkan kertas bagi Dunia.
Cai Lun atau Tsai Lun (蔡伦; 50-121 M) adalah orang pertama yang menemukan kertas dari bahan bambu, yang mudah didapat di seantero negeri Tiongkok pada tahun 101 M.
Ada 2 tokoh terkenal di kaligrafi Tiongkok yaitu Tjutju Widjaja dan Steve Yenadhira
1. Steve Yenadhira kelahiran tahun 1948 adalah Pemilik Divine Art yang berdiri sejak tahun 2008 . Di Divine Art banyak menyimpan lukisan kaligrafi Tiongkok dan Chinese Printing. Disana ada 2 pelukis tetap yaitu Steve Yenadhira dan kawannya
2. Tjutju Widjaja.
Tjutju Widjaja meraih gelar S1 tahun 2008. Lulusannya Cum Laude, kemudian melanjutkan studi S2 di ITB lulus dan lulus tahun 2010 kemudian melanjutkan mengikuti Program Doktoral di ITB tahun 2017 jurusan Ilmu Seni Rupa dan Desain FSDR ITB lulus 10 Desember 2020. dalam sidang disertasinya pada 9 Desember 2020 itu Tjutju Widjaja mengangkat thema tentang kelenteng perempuan di Bandung dan para pendeta yang semuanya perempuan (Zhai Ji). Tema itu diakuinya bertolak dari kenangan masa kecil ketika diajak ibunya ke sebuah kelenteng perempuan di Bandung.
Tjutju mendapatkan cerita miris soal asal-usul para pendeta perempuan itu di kelenteng sejak 1930-an. Selama ini keberadaan mereka tidak banyak diketahui publik karena mereka menjaga jarak dengan orang asing. Sebagian dari mereka adalah bayi yang ditolak keluarganya karena berkelamin perempuan lalu dititipkan ke kelenteng. Dalih lain yaitu karena sudah banyak anak perempuan di keluarga, atau berkonflik dengan mertuanya. “Setelah besar mereka bisa hidup dan solid di dalam kelenteng,” ujar Tjutju Widjaja.
Tjutju Widjaja seorang ibu yang tangguh disela sela kesibukannya kuliah mengambil program Doktoral di tahun 2019 kehilangan Suami tercinta selama lamanya yang meninggal di tahun 2019.
生活的精神和工作不应该被年龄限制。不要轻易放弃,要继续努力,直到闭上眼睛
Shēnghuó de jīngshén hé gōngzuò bù yìng gāi bèi niánlíng xiànzhì. Bùyào qīngyì fàngqì, yào jìxù nǔlì, zhídào bì shàng yǎnjīng artinya semangat dan karya kehidupan tidak boleh dibatasi oleh Usia. Jangan mudah menyerah harus terus semangat dan berkarya hingga menutup mata