Gagal Ginjal Menimpa Anak, Bukti Abainya Negara
Gagal Ginjal Menimpa Anak, Bukti Abainya Negara
Tim Cahaya Pena
Bandung.Swara Wanita Net.-Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Piprim
Basarah Yanuarso, dilansir dari CNN Indonesia (26/07/2024) menyampaikan bahwa
menindak dari viralnya anak yang banyak melakukan cuci darah di rumah sakit,
bahwa ia menyampaikan tidak ada laporan peningkatan kasus gagal ginjal pada
anak secara signifikan secara nasional. Terapi cuci darah pada anak sudah menjadi
hal biasa yang dilakukan sejak lama.
Faktor-faktor yang bisa meningkatkan risiko terkena gagal ginjal termasuk
kebiasaan konsumsi makanan dan minuman kemasan yang tinggi gula. Dokter
spesialis anak di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), dr. Eka Laksmi Hidayati,
dilansir dari CNN Indonesia (26/07/2024) menegaskan bahwa mengatakan bahwa
pola hidup tidak sehat, seperti obesitas, dapat beresiko menurunkan fungsi ginjal.
Konsumsi makanan dan minuman tinggi gula dan garam tidak langsung
menyebabkan masalah, tetapi jika terjadi obesitas pada anak dan berlanjut ke usia
dewasa, risiko gagal ginjal dapat meningkat.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) menemukan bahwa lebih dari 700
ribu masyarakat Indonesia atau sekitar hampir empat persen mengalami penyakit
ginjal kroniskronis (CNBC Indonesia, 16/01/24). Dilihat dari tahun 2018, Data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes RI, terdapat sebanyak 739.208 orang atau
sekitar 3,8 persen masyarakat di Indonesia mengalami penyakit ginjal kronis.
Ditambah lagi dengan adanya data Institute for Health Metrics and Evaluation
(IHME) Global Burden of Disease (GBD) 2019, penyakit ginjal kronis masuk ke
dalam 10 besar penyakit dengan kematian tertinggi di Indonesia. Direktur
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, Dr. Eva
Susanti, mengungkapkan bahwa angka kematian akibat penyakit ginjal kronis di
Indonesia mencapai lebih dari 42 ribu jiwa.
Meskipun tidak ada lonjakan signifikan tiap tahun dalam jumlah anak
penderita gagal ginjal yang memerlukan cuci darah, kasus ini tetap harus menjadi
perhatian. Setiap kasus menandakan masalah serius dalam masyarakat yang perlu
ditangani. Stabilitas jumlah kasus ini seharusnya mendorong kita untuk mencari akar
masalah dan mencegah peningkatan di masa depan.
Faktor utama yang mendominasi adalah gaya hidup dan pola konsumsi
makanan tidak sehat. Anak-anak sering terpapar pada makanan cepat saji dan
minuman manis yang tinggi gula, garam, dan lemak, tetapi rendah nutrisi. Hal ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti lingkungan yang dipenuhi iklan makanan
tidak sehat, kebiasaan keluarga yang kurang memperhatikan gizi, serta faktor
ekonomi yang membuat makanan tidak sehat lebih terjangkau dan mudah diakses.
Produk-produk yang mengandung gula dalam jumlah tidak sesuai dengan
standar Angka Kecukupan Gizi (AKG) banyak beredar di pasar. Hal ini wajar dalam
sistem kapitalisme, di mana uang menjadi tujuan utama dari proses produksi.
Produsen makanan dan minuman cenderung menambahkan gula dalam jumlah
besar untuk meningkatkan rasa dan daya tarik produk mereka, sehingga dapat
meningkatkan penjualan dan keuntungan. Akibatnya, kesehatan dan keamanan
pangan, terutama bagi anak-anak, seringkali diabaikan.
Dalam sistem kapitalis, negara seringkali lebih fokus pada pertumbuhan
ekonomi dan keuntungan industri daripada kesehatan masyarakat. Meskipun negara
telah menetapkan beberapa kebijakan, seperti program Pengendalian Penyakit
Tidak Menular (PTM), promosi gaya hidup sehat melalui Gerakan Masyarakat Hidup
Sehat (Germas), cukai pada minuman manis, regulasi label gizi pada makanan
kemasan, pembatasan iklan makanan tinggi gula, serta regulasi kandungan gula,
garam, dan lemak dalam produk makanan, namun efektivitasnya masih
dipertanyakan. Karena kebijakan-kebijakan tersebut tidak mengubah pola dan gaya
hidup masyarakat.
Islam memiliki banyak mekanisme untuk melindungi umat dari makanan
haram. Pertama, meningkatkan kesadaran umat Islam tentang pentingnya
memproduksi dan mengonsumsi produk halal. Negara menanamkan dalam diri umat
Islam pemahaman bahwa sudah menjadi fitrah dan karakter umat Islam untuk hanya
mengkonsumsi produk dan makanan halal serta tayyib sebagai tanda keimanan
kepada Allah Ta’ala. Ketika umat Islam memahami pentingnya mengonsumsi
makanan halal, produsen, pihak berwenang, dan pemilik restoran secara alami
akan “dipaksa” untuk memproduksi makanan halal juga melalui undang-undang
pasar (muslimahnews.net, 19/06/23).
Kedua, penerapan peraturan dan pengawasan serta penindakan yang tegas
terhadap pelaku ekonomi yang melanggar peraturan. Partisipasi masyarakat juga
sangat diperlukan untuk mengelola kehalalan berbagai produk yang beredar.
Ketiga, negara mempunyai kewajiban untuk berperan sentral dalam
pengawasan mutu dan kehalalan pangan. Negara harus menjatuhkan sanksi
terhadap perusahaan industri yang menggunakan metode dan bahan haram,
khususnya yang memproduksi dan menjual makanan haram kepada umat Islam.
Menurut hukum syara’, umat Islam yang dengan sengaja mengonsumsi makanan
haram akan dikenakan sanksi.
Islam memiliki kebijakan mengerahkan polisi pasar bersama dengan Qadi
Hisbah (hakim pasar). Qadi Hisbah bertugas memantau dan menindak pedagang
dan pelaku ekonomi penipu. Pada masanya, Khalifah Umar bin Khattab ra melarang
keras para pedagang yang tidak memahami hukum Islam untuk berdagang di pasar
(muslimahnews.net, 19/06/23). Maka dari itu mutu terhadap makanan yang halal lagi
thoyyib akan terjamin dan aman untuk kehidupan masyarakat ketika diatur oleh
sistem islam.
Wallahualam