Nasional

Sejarah harus menulis semua peristiwa yang terjadi tanpa rekayasa, meskipun memalukan

 

Sejarah harus menulis semua peristiwa yang terjadi tanpa rekayasa, meskipun memalukan

Oleh Jeremy Huang Wijaya

Sejarah adalah guru kehidupan, dengan mempelajari sejarah, kita belajar tentang kehidupan, yang salah, diperbaiki, yang benar dilanjutkan. Oleh sebab itu sejarah harus ditulis dengan jujur dan benar, tanpa rekayasa.
Saat ini lagi ramai diberitakan penulisan ulang sejarah Nasional, tetapi yang membuat kecewa dan debat panjang adalah adanya rencana tidak di tuliskannya peristiwa kerusuhan Mei 98 khususnya tentang terjadinya kekerasan sexual yang dialami perempuan Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998.

Peristiwa ini berawal “program Real Talk IDN Times yang diwawancarai oleh Uni Lubis pada Selasa (10/6/2025), bersamaan dengan pembahasan soal revisi buku sejarah Indonesia. Fadli mempertanyakan, ”Ada pemerkosaan massal? Betul enggak, ada pemerkosaan massal? Kata siapa itu. Itu enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada.”

“Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon dikecam publik lantaran menyangkal peristiwa perkosaan massal pada Peristiwa Mei 1998. Menurut politikus Gerindra itu, tidak terdapat bukti kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan massal, dalam peristiwa 1998.

Fadli mengklaim peristiwa perkosaan massal tersebut hanya rumor dan tidak pernah dicatat dalam buku sejarah.”
Padahal “Dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pada era pemerintahan Presiden BJ Habibie ditemukan bahwa kerusuhan Mei 1998 tidak dapat dilepaskan dari dinamika dan konteks sosial, politik, dan ekonomi. Pasalnya, kerusuhan tersebut dipicu oleh serentetan peristiwa penting, seperti Pemilu 1997, krisis ekonomi, Sidang Umum MPR RI tahun 1998, demonstrasi mahasiswa, krisis moneter, konflik internal ABRI, hingga penculikan mahasiswa Trisakti yang titik didihnya terjadi pada 13-15 Mei 1998.

Rentetan fenomena tersebut memicu sejumlah kejahatan ekonomi dan kemanusiaan. Beberapa di antaranya penjarahan, PHK, pembakaran fasilitas publik dan properti warga, penculikan aktivis, hingga kekerasan seksual terhadap perempuan, terutama yang berasal dari etnis Tionghoa.

Beragam kejahatan tersebut bukan hanya dongeng belaka, melainkan peristiwa nyata yang korban ataupun pelakunya sudah divalidasi dalam laporan TGPF.
“TGPF dibentuk pada 23 Juli 1998 berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agung”.

“Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang ditemukan dalam kerusuhan Mei 1998 dibagi dalam beberapa kategori yaitu: perkosaan, perkosaan dan penganiayaan, penyerangan seksual/penganiayaan dan pelecehan seksual.

Dari hasil verifikasi dan uji silang terhadap data yang ada, TGPF menyimpulkan tidak mudah memperoleh data yang akurat untuk menghitung jumlah korban kekerasan seksual, termasuk perkosaan.

TGPF menemukan adanya tindak kekerasan seksual di Jakarta dan sekitarnya, Medan dan Surabaya.”
“ADA satu adigium di dalam penulisan sejarah yang sering dikutip di seluruh dunia. Bunyinya, “History is written by the victors” atau sejarah ditulis oleh para pemenang.

Kabarnya, jika kita merujuk kepada buku sejarah, tak terlalu jelas siapa yang pertama kali mengucapkan kalimat tersebut.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.