Rojali dan Rohana Terjadi karena Uang Habis Beli Beras dan Rokok
Rojali dan Rohana Terjadi karena Uang Habis Beli Beras dan Rokok
Oleh Jeremy Huang Wijaya
Meskipun kesepakatan Trump dengan Komisi Eropa menurunkan tensi dagang, pasar tidak serta merta optimis. Dolar AS justru menguat signifikan, mendorong pelemahan rupiah yang makin dalam
Pagi ini Selasa 29 Juli 2025 Nilai Tukar rupiah bertengger di 16.363 per dollar AS. Sementara itu pada hari Senin 28 Juli 2025 Mengutip data Bloomberg, rupiah ditutup melemah 0,15% ke Rp16.320 per dolar AS
Kenaikan dollar AS 2 hari berturut-turut pasti akan membawa dampak pada perdagangan dan perekonomian dalam negeri.
Sebelum naiknya dollar perdagangan dalam negeri sudah sepi, daya beli turun. Maka timbul fenomena Rojali Yaitu Rombongan Jarang beli dan Rohana yaitu Rombongan hanya nanya di mall dan pusat perbelanjaan.
Daya beli turun membuat sepi perdagangan.
Terkejut kemaren Senin 28 Juli 2025 Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan orang miskin Indonesia menghabiskan uang untuk membeli beras dan rokok.
Ada 2 kelompok komoditas yang menyumbang garis kemiskinan di Indonesia, yakni makanan dan non-makanan. Beras dan rokok menjadi dua komoditas makanan teratas yang menghabiskan uang orang miskin, baik di perkotaan maupun perdesaan.
“Beras masih memberi sumbangan terbesar … Rokok kretek filter memberikan sumbangan terbesar kedua terhadap GK (garis kemiskinan),” jelas data resmi BPS, dikutip Senin (28/7).
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) per Maret 2025 mencatat beras menyedot 21,06 persen uang orang miskin kota. Sedangkan rokok kretek filter merupakan 10,72 persen pengeluaran masyarakat miskin perkotaan.
Bahkan, beras tercatat menyumbang 24,91 persen dari total pengeluaran orang miskin di desa. Sedangkan 9,99 persen lainnya dihabiskan untuk membeli rokok.
Sebetulnya ini sudah memasuki masa kecemasan karena mahasiswa yang lulus kuliah tidak dapat bekerja, hal ini disebabkan oleh sedikitnya lapangan pekerjaan, banyak pabrik yang ditutup.
Sudah waktunya Pemerintah mengurangi jumlah staff Ahli, mengurangi lembaga yang tidak efesien.