BPKAD Bojonegoro Klarifikasi Soal Dana Mengendap: Rp 2,7 Triliun Disimpan di Bank Jatim, Warga Nilai Koreksi Tak Menjawab Esensi

 

Bojonegoro, Jawa Timur.Swara Jabbar News Com.-Polemik dana mengendap di Kabupaten Bojonegoro terus menuai perhatian publik. Setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti dana pemerintah daerah yang mengendap hingga triliunan rupiah, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Bojonegoro akhirnya memberikan klarifikasi.

Dalam keterangan yang dilansir oleh Radar Bojonegoro (23/10/2025), BPKAD menyampaikan bahwa dana sebesar Rp 2,7 triliun memang tersimpan di Bank Jatim, namun dalam bentuk deposito daerah, bukan dana pasif yang menganggur.

“Dana tersebut merupakan bagian dari strategi pengelolaan kas daerah, bukan sisa anggaran yang tidak digunakan,” demikian pernyataan BPKAD yang dikutip dari laman radarbojonegoro.jawapos.com.

Namun, klarifikasi ini justru memicu reaksi beragam di kalangan masyarakat. Sebagian pihak menilai bahwa penjelasan tersebut tidak menjawab esensi permasalahan utama, yakni rendahnya realisasi belanja publik di tengah banyaknya kebutuhan pembangunan dan layanan masyarakat.

Sebelumnya, Menteri Keuangan menyoroti masih besarnya dana pemerintah daerah yang “mengendap” di perbankan nasional.

Bojonegoro menjadi salah satu daerah yang disebut memiliki dana mengendap besar — mencapai Rp 3 triliun, yang dinilai seharusnya bisa digunakan lebih produktif untuk mempercepat pembangunan daerah dan mendorong ekonomi lokal.

Di tingkat nasional, Kementerian Keuangan mencatat total dana pemda mengendap di bank mencapai lebih dari Rp 234 triliun, angka yang dinilai memperlambat efek fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Kepala BPKAD Bojonegoro menegaskan bahwa dana tersebut bukan merupakan sisa anggaran tidak terserap (SiLPA), melainkan bagian dari kebijakan pengelolaan keuangan untuk menjaga likuiditas kas dan keamanan dana daerah.

Menurut mereka, deposito daerah dilakukan agar dana tetap produktif selama belum dibutuhkan untuk kegiatan fisik atau program publik.

Namun, kebijakan ini dinilai sebagian pihak lebih mengedepankan keamanan finansial dibanding kebermanfaatan sosial ekonomi bagi masyarakat.

Warga Bojonegoro, Bayu Sukma Priangga, menilai klarifikasi dari pemerintah daerah tidak menyentuh inti persoalan yang menjadi sorotan publik.

“Saya menyesalkan koreksi itu, karena esensinya bukan soal dana disimpan di mana, tetapi soal kenapa dana sebesar itu belum digunakan secara optimal untuk kepentingan masyarakat,” ujar Bayu Sukma Priangga, warga Bojonegoro, saat dimintai tanggapan.

Menurutnya, penyimpanan dana daerah dalam bentuk deposito bisa dimaknai sebagai minimnya realisasi pembangunan di tengah kebutuhan ekonomi lokal yang mendesak.

“Kalau tujuannya untuk menjaga kas daerah, itu bisa dimaklumi. Tapi ketika masyarakat masih kesulitan air bersih, infrastruktur belum merata, dan UMKM butuh dukungan modal, maka menaruh Rp 2,7 triliun di deposito jelas tidak sesuai dengan semangat APBD yang pro-rakyat,” tambahnya.

 

Fenomena dana mengendap di kas daerah menimbulkan dilema antara prudential fiscal management (kehati-hatian fiskal) dan responsiveness to public needs (respons cepat terhadap kebutuhan masyarakat).

Dari sisi akuntansi publik, deposito daerah memang legal dan dapat menghasilkan bunga kas daerah. Namun dari sisi ekonomi politik, kebijakan ini tidak memberikan dampak langsung terhadap kesejahteraan publik.

Para pengamat menilai, Bojonegoro perlu menyeimbangkan antara:

Stabilitas fiskal (pengelolaan dana secara aman dan efisien), dan

Akselerasi belanja publik (agar anggaran segera beredar di masyarakat dan sektor produktif).

Polemik dana mengendap di Bojonegoro menunjukkan bahwa transparansi dan kecepatan realisasi anggaran masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah daerah.

Masyarakat menantikan langkah konkret agar dana daerah tidak sekadar menjadi angka saldo di rekening bank, tetapi benar-benar menjadi alat pembangunan dan penggerak ekonomi lokal.

Penulis : Bayu Sukma Priangga

 

Comment