Prabowo Ajak Masyarakat Sumbang Pakaian untuk Korban Bencana di Sumatra, Praktisi Tekstil Nilai Perlu Manajemen Bantuan yang Lebih Terstruktur

Jakarta.Swara Jabbar News Com.-Presiden Prabowo Subianto mendorong gerakan masyarakat untuk menyumbangkan pakaian layak pakai bagi korban banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Seruan tersebut disampaikan dalam rapat terbatas di Pos Pendamping Nasional Penanganan Bencana Alam Aceh, Pangkalan TNI AU Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar, Minggu (7/12) malam.

Menurut Presiden, aksi solidaritas warga menunjukkan kuatnya budaya gotong royong masyarakat Indonesia. “Kelompok-kelompok masyarakat yang mau menyumbang pakaian-pakaian mereka yang masih bagus, saya kira bisa ini kita tunjukkan gotong royong kita, solidaritas sosial kita,” ujarnya melalui tayangan YouTube Sekretariat Presiden.

Prabowo juga meminta agar suplai bantuan pakaian diperhatikan lebih khusus dan dikelola dengan baik, terutama dari berbagai daerah. Ia menilai bahwa penyediaan pakaian untuk korban bencana juga dapat mendorong sektor industri garmen dan tekstil dalam negeri.

“Pakaian ini nanti bisa dibuat proyek khusus. Dikirim ke daerah-daerah, dihitung, ini juga saya kira bisa menjadi dorongan untuk industri garmen dan tekstil kita,” kata Presiden.

Selain pakaian, ia menekankan bahwa obat-obatan dan kebutuhan mendesak lainnya harus segera dikirim. Prabowo turut memberikan apresiasi kepada seluruh gubernur, bupati, dan petugas yang bekerja di lapangan selama penanganan bencana

Menanggapi imbauan tersebut, akademisi dan praktisi tekstil Bayu Sukma Priangga menekankan perlunya mekanisme seleksi dan distribusi bantuan yang sistematis. Menurutnya, standar kualitas pakaian bantuan, kesesuaian kebutuhan, serta kelancaran rantai logistik perlu dipastikan untuk menghindari penumpukan bantuan yang tidak dapat digunakan.

“Donasi pakaian sangat baik, tetapi tanpa mekanisme seleksi, pengelompokan, dan distribusi yang jelas, bantuan bisa justru menumpuk dan tidak terpakai. Ini berpotensi menjadi limbah tekstil baru di lokasi bencana,” ujarnya.

Dari perspektif industri, Bayu menilai bahwa dorongan terhadap sektor tekstil memang relevan mengingat industri tersebut sedang menghadapi tekanan utilisasi pabrik, kenaikan biaya bahan baku, hingga persaingan impor. Namun ia menegaskan bahwa stimulus berbasis bencana tidak boleh menjadi strategi utama pemulihan industri.

“Industri tekstil membutuhkan kebijakan struktural, mulai dari modernisasi teknologi, penguatan bahan baku lokal, hingga perlindungan dari dumping. Permintaan pakaian untuk bencana hanya bersifat temporer,” jelasnya.

Bayu juga menekankan pentingnya standar bahan dan etika produksi bila pemerintah ingin menjadikan penyediaan pakaian. Menurutnya, perlu juga menyiapkan pakaian bantuan dengan spesifikasi teknis tertentu—misalnya gramasi, ketahanan jahitan, dan kenyamanan termal—agar bantuan benar-benar sesuai kebutuhan korban.

“Jika ingin melibatkan UMKM tekstil, itu langkah sangat baik. Namun tetap harus ada standar mutu dan waktu produksi yang realistis agar tidak menekan pekerja garmen,” tambahnya.*

Comment