Dokter RSHS Diduga Lakukan Malpraktek pada Mantan Kajati
dealnya masa pensiunan, H. Harun Al Rasjid, SH.,MH (70) mantan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Kabupaten Tasikmalaya, yang ditemui pada pertengahan Februari 2018, berada dalam dalam suasana penuh kedamaian dan bahagia.
Sebaliknya, Harun kala ditemui yang ditemani isterinya, di kawasan berudara sejuk Lembang, Kabupaten Bandung. Hanya, berkeluh-kesah tersebab rasa sakitnya setiap saat, kerap mendera. Ini terjadi, sejak ia disuntik dokter asal Korea pada 2012. Ya, enam tahun lalu!
“Masih ingat saya, 5 Desember 2012 sore. Disuntik dokter asal Korea (Selatan atau Utara? – red). Ini nih di bagian pantat ujung tulang tungkai sebelah kiri,” ujarnya sambil duduk di kursi roda di ruang tamu rumahnya.
Saat itu lengan kanannya, berusaha menunjuk-nunjuk area bagian pinggulnya dengan susah payah. Kenyataannya, untuk sekedar bergerak, sudah lama ia kesulitan. Salah satu musyababnya, kateter di tubuhnya sudah lama terpasang. “Untuk BAB saja susahnya bukan main,” keluh Harun dengan suara lirih.
Muasal kisah ini, berawal sesaat disuntik dokter asal Korea itu di gedung RSHS lantai 3. Kejadiannya, ia ingat cukup rinci. Apalagi rasa sakitnya hingga kini, masih terasa, katanya. Padahal sebelum disuntik ia bisa berjalan, walaupun dibantu walker.
”Sekitar dua jam seperempat menit setelah disuntik yang sakitnya luar biasa itu, saya ambruk. Tak kuat berdiri. Lalu, ditolong beberapa dokter memakai kursi roda. Selanjutnya, digotong ke mobil, pulang ke rumah. Sejak itu saya lumpuh dari pinggang ke bawah.”
Di RS Hasan Sadikin Lantai 3
Kejadian penyuntikan tadi yang masih diingat Harun cukup rinci, dibuktikan setumpuk arsip pengaduan dugaan pelanggaran disiplin kedokteran ke Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), tertanggal Bandung 8 Agustus 2014, dengan pelapor/pengadu DPC Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Bandung, yang ditandatangani H. Kuswara S. Taryono, SH, MH. DKK:”Berlangsung di RS Hasan Sadikin Lantai 3.”
Ternyata, pangkal tolak Harun ‘bersedia’ disuntik dokter Korea, merunut ringkasan dari surat AAI tertanggal 8/8/2014 di halaman 2 bila diringkas, memunculkan dugaan kisah keterkaitan dengan sejumlah dokter.
“Januari sampai Oktober 2012 saya berobat ke dr. Adelina, Sp.S di RS Advent Bandung. Keluhannya, rasa sakit terus-menerus di pinggang belakang. Dokter ini lalu menganjurkan dioperasi oleh dr Rully Zul Dahlan, Sp. BS.,” kata Harun dengan tambahan keterangan –“Pada september – Oktober 2012, menjalani rawat inap di RS Advent Bandung. Ini buat persiapan dan operasi pembuluh darah pada torakal punggung No 4-5,6,7,9 – 1, Ketua Tim Operasi dr Rully. Namun awal November 2012, saya diperbolehkan pulang. Dianggap sehat dan mampu berjalan dibantu walker.”
Kisah berlanjut, kata Harun pada November 2012, dr. Rully Dahlan, dan dr. Adelina meyakinkan dirinya:”Tak perlu dioperasi cukup disuntik dengan obat saja oleh dokter dari Korea. Disini tak ada penjelasan efek samping perlakuan ini.”
Puncaknya pada 5 Desember 2012, masih kata Harun, difasilitasi dr Rully Zul Dahlan dirinya yang masih bisa berjalan dengan bantuan walker :”Saya disuruh datang ke RS Hasan Sadikin Bandung, lalu sibawa ke lantai 3 ruang operasi untuk penyuntikan oleh dokter Korea.”
Masih kata Harun beberapa saat sebelum penyuntikan oleh dokter Korea:”Saya disuruh mengangkat kaki kiri dan kanan ke atas sampai 90 derajat. Saya mampu melakukannya dan mampu berdiri. Juga asisten dr Rully Zul Dahlan menanyakan, apakah ada rasa sakit. Saya jawab, tidak ada…, jelasnya dengan menyatakan –“Itulah detik-detik sebelum penyuntikan yang menyusahkan saya dan keluarga dalam enam tahun terakhir.”
Dugaan Malpraktek itu..
Masih berpangkal dari surat AAI tertanggal 8/8/2014, dugaan keras mal praktik ini dr. Rully Zul Dahlan dan dr Adelina serta dokter dari Korea telah melanggar disiplin Profesi Kedokteran, sebagaimana diatur dalam Peraturan Konsul Kedokteran Indonesia No. 4 Tahun 2011, berupa 1. Menyuruh dokter dari Korea menyuntikkan obat yang tidak jelas dan tidak terdaftar di BPOM RI. 2. Menyuruh dokter Korea melakukan tindakan medis terhadap pasien, padahal dokter ini tidak memiliki izin praktik di Indonesia. Dokter ini datang ke Indonesia dalam rangka Simposium (International Cadaveric Dissection and Symposium of Spine 2012). 4 Menjamin obat yang disuntikkan pasti dapat menyembuhkan pasien, dan mengatakan rugi apabila tidak ikut program penyuntikan ini. “Semua ini betul-betul terjadi dan siap malah disumpah pocong sekalian. Saya menderita lahir bathin, gara-gara penyuntikan ini,” jelas Harun dengan nada menghiba yang sangat dalam.
Berdasarkan kejadian di atas, masih pada 2014 yakni dua tahun setelah peristiwa ini, laporan pengaduan per 28 Juni 2014 ditujukan ke Ketua IDI Pusat, melalui surat Ketua PB IDI No 4695/PB/H3/06/2014 per 27 Juni 2014. “Dari surat ini disarankan pengaduan ke MKDKI,” imbuh Harun dengan menambahkan laporan sejenis ke Ketua IDI Provinsi Jawa Barat, per tangga 26 Juni 2014 –“Ditujukan ke Ketua Bidang Hukum, Etika, dan Profesi (Dr. Tammy J Sjarif M,H, Kes). Mengundang saya untuk klarifikasi, namun tak ada tindak lanjut.”
Pengaduan yang Mandek
Diringkas, nasib pengaduan yang telah disebar ke ‘delapan penjuru angin’ oleh korban, dugaan Malpraktek ini “tak jelas alias mandek” disikapi para pihak yang dimintai bantuannya oleh AAI Bandung, antara lain IDI Cabang kota Bandung (no surat 93/A.5/IDI-Bd/VI/2014 – per 23/6/2013); Ombudsman RI (no 0312/KLA/0599/PBP.28/VII/2015 – per 22/7/2015); Sekjen Kemenkes, Ka Biro Hukum dan Organisasi (no HK.04.01/IV.2/2094/2015 – per 28/8/2015); dan Dit Reskrimsus Polda Jabar (No B/410/2016/Dit Reskrimsus – per 28/10/2016), kabar terakhir beberapa pihak menyarankan negosiasi dengan dr Rully Hanafi Zul Dahlan.
Kala di konfirmasi, masih di rumah Harun berdasarkan sepintas berkas yang ia sodorkan – Negosiasi dari dr Rully itu bagaimana?
“Tegas saya tolak melalui surat ke Tim Malpraktek Dokter Dit Krimsus Polda Jabar (3/10/2016). Bukan uangnya, yang katanya mau beri Rp. 80 juta, melainkan penderitaan saya tak sebanding dengan nilai uang. Good will untuk membantu pengobatan kepada saya pun, hingga hari ini tidak ada. Malah, saling lempar tanggung-jawab seperti sejak awal kasus ini muncul,” tandas Harun – “Mana tanggung jawab dokter dan RS Hasan Sadikin yang tempatnya dipakai praktik ilegal dokter Korea? MKDKI pun sama, berdalih tim yang dulu sudah bubar, katanya.”
Suntikan, Tak Perlu Kata Saksi
Sebuah catatan yang cukup berarti atas dugaan mal praktik ini, bolehlah disimak apa kata saksi menurut surat yang diajukan ke MKDKI Jakarta Pusat (8/8/2014), dari pelapor H Kuswara S Taryono, SH .MH, DKK Tim Advokasi AAI Bandung.
Tercantum dalam lembar ke-3 surat ini. Dr. Thamrin Syamsudin, SpS sebagai dokter yang merawat pasien (Harun – red) sejak 2012 – 2014. Selanjutnya Dr Tan Siaw Koan, Sp. Rad, menyatakan tidak perlu diuntik dan salah penanganan. Pun, Dr Tedy Sadeli W,. Sp. KFR, menyatakan Harun menderita kelumpuhan permanen.
Perihal pengaduan Harun yang tak lelah dilayangkan ke semua pihak yang berwenang. “Semoga hukum tetap ditegakkan. Saya akan berjuang terus untuk itu,” tutupnya dengan rona wajah datar memendam penderitaan.
Semenjak ber-kursi roda, alih-alih Harun bisa bercengkrama dengan anak dan cucu inginnya. “Justru berbagai berbagai penyakit seperti wasir, pelemahan otot, juga gatal-gatal di sekujur kulit, sekarang terus terasa.”