Hj.Tia Fitriani : Kiprah Perempuan Dalam Dunia Politik
BANDUNG.SJN COM.-Sejak Tahun 1977, Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan 8 Maret sebagai Perayaan Tahunan untuk memperingati Hari Perempuan Internasional. Inilah momentum untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.Setiap perempuan, apapun agamanya, apapun ras dan etnisnya, apapun pendidikannya, apapun kiprahnya dan apapun latar belakangnya berhak untuk memperoleh perlakuan yang setara.
Namun demikian, perjuangan perempuan masih menemui jalan berliku karena hingga saat ini untuk mencapai wilayah publik (lembaga legislatif) harus melalui pintu partai politik sebagai satu-satunya mesin politik di Indonesia.
Kondisi kaum perempuan yang tengah memperjuangkan hak – haknya saat ini mengundang kepriatinan dari sejumlah kalangan. Dominasi kaum pria yang duduk di parlemen mengakibatkan kepentingan kaum perempuan tidak terakomodir sebagaimana yang diharapkan. Sebagian besar isu yang diangkat di parlemen adalah masalah-masalah publik yang jarang sekali menyentuh kepentingan kaum perempuan. Akibatnya, perempuan Indonesia kurang mendapat perhatian khusus dari pemerintah dalam hal kebijakan.Hal ini dikatakan oleh Dra.Hj.Tia Fitriani Ketua Fraksi NasDem Persatuan Indonesia DPRD Provinsi Jawa Barat saat ditemui Swara Wanita beberapa waktu lalu.
Lebih jauh Politisi Perempuan Partai NasDem Asal Dapil Jabar II (Kabupaten Bandung) menegaskan kurangnya Caleg perempuan yang berhasil duduk di kursi Parlemen menjadi penghambat berkembangnya negeri ini. Sebagian besar masyarakat masih menganggap wanita sebagai kaum yang lemah, tidak mampu berkerja keras, serta tidak sanggup memimpin banyak orang. Padahal, kenyataannya tidaklah demikian. Fakta menunjukkan, cukup banyak perempuan Indonesia yang duduk di parlemen telah berhasil membuktikan bahwa mereka sanggup mengukir prestasi dan bersuara lantang sebagaimana kaum pria.
Bahkan, ketika aktivis perempuan berhasil mendesakkan tindakan afirmatif dalam UU Pemilu yang memuat kuota 30% bagi keberadaan calon anggota legislatif perempuan, itu pun tidak berjalan mulus mendudukkan perempuan sebagai wakil rakyat. Hal ini terkait dengan persoalan teknis di lapangan, dimana kuota 30% bagi perempuan hanya diberlakukan di tataran pencalonan dan tanpa sanksi bagi partai politik yang tidak mampu memenuhinya. Sedangkan, urusan penomoran urutan caleg berada di tangan pimpinan partai politik yang didominasi oleh laki-laki. Tidak hanya itu, sistem zipper yang sediaya dianggap mampu menaikkan keterwakilan perempuan di parlemen justru harus “kandas” karena “dipatahkan” melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dengan demikian, perjuangan perempuan dalam upaya menegakkan kesetaraan gender masih jauh dari harapan. Peningkatan jumlah anggota dewan perempuan dari periode ke periode belum mampu mengentaskan kaumnya dari ketidaksetaraan gender yang dialami. Oleh karena itu, perjuangan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan gender tidak dapat dilakukan oleh kaum perempuan sendiri, melainkan diperlukan kerjasama dengan entitas sosial lain yang memiliki kepekaan terhadap persoalan perempuan (gender sensitivity). ujarnya.
Selain itu, perjuangan tersebut juga memerlukan upaya yang sistematis, terprogram, dan berkesinambungan pada semua sisi pembangunan. Disamping itu, perjuangan tersebut juga memerlukan komitmen bersama dari para pengambil keputusan, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, kaum cendekiawan, beserta seluruh elemen masyarakat dalam rangka mengeliminasi berbagai kendala kultural, struktural, dan instrumental dalam upaya mewujudkan kesetaraan gender di semua lini kehidupan.
Dalam upaya mendorong kompetensi, partisipasi peran perempuan di bidang politik dan konsolidasi internal partai politik harus konsisten dilakukan. Diperlukan serangkaian iktiar atau metode agar partisipasi politik perempuan meningkat berikut caranya ;
Upaya peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen melalui kebijakan afirmasi lewat revisi undang-undang pemilu tahun ini peluangnya relatif kecil.Konsistensi dalam meningkatkan kapasitas politik setiap perempuan harus yerus ditingkatkan.
Berbagai strategi alternatif lewat upaya masif penguatan kapasitas politik perempuan diawali dengan literasi poltik yang tidak bias gender. Tujuannya, untuk memberi pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya peningkatan keterwakilan perempuan di berbagai bidang termasuk di parlemen ujarnya.
Pemilih Perempuan tidak memilih calon pemimpin perempuan sehingga diperlukan konsolidasi, koloborasi secara menyeluruh agar gerakan perempuan memilih pemimpin perempuan berjalan sesuai harapan.
Sudah saatnya perempuan berpartisipasi aktif membangun bangsa dan negara melalui jalur politik. Oleh karena itu, perempuan politik merupakan aset besar milik bangsa yang harus terus didorong maju, bukan hanya kuantitas, melainkan juga kualitasnya.
Terus menggelorakan suara perempuan untuk melek politik sehingga pada saatnya nanti akan mampu berjuang bersama-sama laki-laki di jalur politik. Perempuan memiliki kemampuan sama dengan lelaki dalam hal aspirasi politik. Kalahnya kan cuma di otot. Kalau zaman sekarang untuk menuntut kesetaraan gender itu sudah keniscayaan. Tidak bermaksud mengancam dominasi laki-laki, tetapi untuk keseimbangan peran tandasnya.Kaum perempuan harus terus mengasah kemampuan di berbagai bidang sehingga pada saatnya berjuang, semua sudah siap diaplikasikan. Keterwakilan perempuan jangan sekadar penuhi kuota. Namun, harus didorong melalui regulasi agar komposisi perempuan bisa ikut terakomodasi di parlemen, yakni keterwakilan minimal 30% perempuan dalam legislatif. Namun, perempuan dalam parlemen jangan hanya pelengkap. Atau hanya memenuhi kuota keterwakilan perempuan saja (kuantitas). Namun, kualitas perempuan sebagai politikus juga harus mumpuni dan dominan dalam pengambilan keputusan dan layak bersaing dengan politisi pria
Semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh kalangan perempuan menuntut mereka untuk ikut andil duduk di parlemen dengan anggota legislatif lainnya dalam membahas dan mencari solusi atas permasalahan yang terjadi. Hal tersebut perlu dilakukan agar apa yang menjadi masalah kaum perempuan lebih mudah untuk diperjuangkan daripada menyerahkan sepenuhnya permasalahan tersebut kepada kaum pria yang notabene kurang memahami kompleksnya masalah yang dihadapi oleh kalangan perempuan tandasnya.
Ada beberapa alasan tentang perlunya perempuan ikut andil dalam dunia politik . Pertama, berkaitan dengan masalah keadilan. Keikutsertaan perempuan di segala bidang kegiatan, termasuk kesempatan untuk menduduki jabatan politik maupun administrasi pemerintahan diperlukan untuk menghilangkan ketimpangan yang didasarkan pada jenis kelamin.
Kedua, hal – hal yang berkaitan dengan masalah yang secara umum dapat disebut sebagai “efektivitas peran”. Negara tidak seharusnya menyia-nyiakan bakat dan potensi yang dimiliki oleh kaum perempuan dalam mengembangkan sistem administrasi dan perekonomian yang berdaya saing tinggi. Maka dari itu, peluang yang dituangkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 7/2013 pasal 27 ayat (1) huruf b menyangkut kuota 30 persen keterwakilan calon legislatif (caleg) perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil) harus benar benar dimanfaatkan.
Di lain pihak, partai politik memiliki tugas besar untuk menghadirkan caleg – caleg perempuan yang berkualitas. Hal ini diperlukan agar ketika mereka berhasil duduk di parlemen sudah memiliki pengetahuan akan masalah – masalah krusial yang dihadapi oleh kaum perempuan. Pengetahuan tersebut diperlukan agar kebijakan – kebijakan yang dikeluarkan oleh eksekutif benar – benar berorientasi pada upaya pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh kaum perempuan ungkapnya.
Adanya ketentuan 30 % caleg harus perempuan ini sebenarnya dimaksudkan untuk memberikan akses yang memadai bagi kaum perempuan agar dapat berpartisipasi dalam proses politik. Dengan demikian, adanya anggapan bahwa perempuan merupakan “warga kelas dua” pun seharusnya sudah tidak ada lagi. Terbukanya kesempatan yang lebih besar bagi kaum perempuan untuk menjadi calon anggota legislatif ini akan menjadikan mereka semakin mudah untuk memperjuangkan hak-haknya yang selama ini diremehkan kaum laki-laki. Banyak persoalan lain yang menyangkut masalah keperempuanan yang selama ini belum digarap dengan tuntas, akan memungkinkan diselesaikan secara substansial dan serius.
Peluang dan akses sudah terbuka ,tinggal kaum perempuan itu sendiri yang harus mampu menunjukkan kemauan dan kemampuannya beraktivitas di dunia politik. Dengan begitu, keberadaan mereka dapat digunakan sebagai standar penilaian prestasi sekaligus sebagai upaya menepis tuduhan bahwa pemberian kuota hanyalah sekedar belas kasihan kepada kaum perempuan. Kepentingan perempuan harus diperjuangkan agar mereka juga merasakan hasil dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pungkasnya.(die)