Azmi Abubakar Tekad, Nekad, dan Berani Gila Dalam Mengambil Keputusan
CIREBON.SJN COM.-只有团结,我们才能完成困难和不可能的工作,有了团结,我们才能进步生活
Zhǐyǒu tuánjié, wǒmen cáinéng wánchéng kùnnán hé bù kěnéng de gōngzuò, yǒule tuánjié, wǒmen cáinéng jìnbù shēnghuó artinya hanya dengan bersatu kita dapat mengerjakan pekerjaan yang sulit dan mustahil, Dengan Bersatu kita dapat memajukan kehidupan
Azmi Abubakar memiliki semboyan Tekad, Nekad dan Gila. Untuk mewujudkan meraih impian harus ada tekad, yang kedua harus nekad dalam mewujudkan tekad, untuk menggolkan rencana harus berani gila, siap untuk mengambil resiko dari keputusan yang sudah diambil tetap semangat. Meskipun harus melewati jalan kehidupan yang terjal dan licin.
Dr Lie Dharmawan pemilik Rumah sakit Apung adalah tokoh idolanya karena memiliki tekad yang kuat, dan berani nekad dalam mengambil Keputusan
Azmi Abubakar lahir di Jakarta 3 Maret 1972, 46 tahun silam, berdarah Gayo, Aceh, pemilik Museum Pustakan Peranakan Tionghoa di Tangerang Selatan.
Memiliki rencana bertemu sahabat lamanya Jeremy Huang di Cirebon tgl 17 Juni 2021-18 Juni 2021 akan berziarah ke Makam Putri Ong Tien, Keraton Kesepuhan, Kanoman dan Kecirebonan, mengunjungi Kelenteng Talang, Kelenteng Tiao Kak Sie dan Kelenteng Bun San Tiong. Jeremy Huang bersama Richard D Pekasa dan Acan Sukeito juga akan mengajak Azmi Abu Bakar keliling Cirebon untuk mencicipi dan menikmati makanan Kuliner khas Cirebon yaitu Nasi Lengko, Empal Gentong, Nasi Jamblang dan Docang.
Azmi Abubakar mendirikan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa memiliki sekitar 30.000 dokumen, potongan artikel koran dan foto yang berhasil ia kumpulkan. Selain itu juga tampak beberapa papan nama dan patung berunsur Tionghoa.
Azmi Abubakar mencerutakan mengumpulkan buku dan potongan artikel koran sehabis lulus kuliah.
Azmi menempuh pendidikan di Institut Teknologi Indonesia (ITI) Serpong dan menjadi aktivis di Jakarta pada 1993-1995. Saat Mei 1998 mahasiswa turun ke jalan untuk menuntut Soeharto lengser, Azmi ikut serta. “Peristiwa 13-14 Mei 1998 inilah yang paling kuat melatarbelakangi Azmi Abubakar membangun museum ini,” katanya. Azmi bercerita 13-14 Mei tahun 1998 ketika kerusuhan meluas di Jakarta, bersama kawan-kawan ITI ia menjaga seputar Pondok Cabe-Ciputat-Pamulang-Serpong.
Azmi Abu Bakar baru baru ini menuliskan sejarah Rumah Sakit Husada 1924. Azmi Abu Bakar dalam Tulisannya Rumah Sakit Husada: Sumbangsih Orang Orang Tionghoa yang terlupakan. Azmi menuliskan Nama RS HUSADA (berdiri 1924) sebaiknya dikembalikan lagi ke nama aslinya yaitu JANG SENG IE . Nama tersebut dubah secara paksa pada tahun 1965.
Jang Seng Ie adalah bagian dari sejarah besar bangsa, namun nama Husada telah menghapus jejak besar tsb.
Ketika kolonial Belanda mengabaikan kesehatan bangsa Indonesia, justru orang orang Tionghoa bersatu padu menyelesaikan persoalan tersebut, hasilnya adalah puluhan ribu orang2 miskin di Batavia dapat diselamatkan nyawanya dan diobati secara gratis di rumah sakit Jang Seng Ie tersebut. Terkemudian, kerja besar ini diikuti oleh orang orang Tionghoa di beberapa kota besar lainnya di Indonesia, dengan mendirikan rumah sakit serupa bagi orang2 tak mampu tanpa memandang golongan serta latar belakang.
Azmi Abu Bakar menceritakan Ketika ada yg menanyakan apa kontribusi orang orang Tionghoa terhadap bangsa dan negara ini, selain nama nama pejuang Tionghoa yang mempertaruhkan jiwa dan raga demi tercapainya kemerdekaan bangsa ini, maka rumah sakit Jang Seng Ie adalah satu diantaranya yang terbesar dan tak terbantahkan. Sayangnya kisah tersebut telah terkubur, hanya sedikit dari generasi lama saja yang masih tahu sejarahnya, sedangkan generasi saat ini banyak yang tak mengetahuinya, bahkan bagi generasi muda tionghoa sendiri. Satu sebab utamanya adalah nama yg telah berubah.
Dulu Nama aslinya bukan Husada, tapi adalah Rumah Sakit “Jang Seng Ie”, yang merupakan satu sumbangan tak ternilai dari masyarakat kalangan Tionghoa terhadap orang-orang miskin di Jakarta. Entah kenapa, pada tahun 1965, Prof Dr Satrio sebagai Menteri Kesehatan, mengganti nama rumah sakit Jang Seng Ie menjadi R.S Husada.
Berdiri sejak tahun 1924, di bawah inisiatif dan pimpinan dari Dr Kwa Tjoan Sioe, Jang Seng Ie adalah wujud rasa kemanusiaan luar biasa dari kalangan masyarakat Tionghoa terhadap kondisi penanganan kesehatan masyarakat Betawi (Jakarta) yang amat buruk dari penjajah Belanda saat itu.
Bayangkan, puluhan ribu masyarakat dari berbagai kalangan, terutama penduduk Betawi, diobati secara cuma-cuma alias gratis di rumah sakit ini. Sulit kita bayangkan, sebagian besar dari para dokter dan perawatnya tidak mau menerima bayaran. Bahkan, mereka menanggung sendiri biaya transportasi dan keperluan lainnya.
Azmi juga menuliskan Kalangan dermawan dari orang Tionghoa juga menyumbangkan begitu banyak dana untuk membiayai keberlangsungan rumah sakit tersebut. Di antaranya yang dapat kita catat adalah:
1. Auw Boen Hauw 38.000 Gulden
2. Khouw Ke Hien 18.000 Gulden
3. Liem Gwan Kwie 22.000 Gulden
4. Thung Tjien Pok 10.000 Gulden
Luar biasa dan yang menariknya, saya juga menemukan keterangan dari iklan undangan pernikahan kalangan Tionghoa yang memberikan penjelasan, bahwa uang sumbangan (angpao) untuk mempelai akan disumbangkan kepada Rumah Sakit Jang Seng Ie. Luar biasa bukan?
Dr. Kwa Tjoan Sioe (1893-1948) adalah pendiri R.S Jang Seng Ie. Dr Kwa lulusan Kedokteran dari Universiteit van Amsterdam dan Tropen Institute of Tropical Hygiene. Beliau menempuh pendidikan di Belanda dari tahun 1913 sampai 1921.
Tahun 1922, Dr Kwa sudah membuka praktek untuk menolong orang2 miskin, ibu hamil dan anak-anak. Tahun 1924, bersama tokoh-tokoh Tionghoa lainnya seperti Liem Tiang Djie, Tan Boen Sing, Injo Gan Kiong, Ang Jan Goan, Lie Him Lian, Tan Eng An dan Lie Tjwan Ing, mendirikan Jang Seng Ie.
Pada 19 Maret 1948, Dr Kwa meninggal terjatuh dalam keletihan akibat pengabdiannya yang begitu hebat kepada rakyat. Beliau meninggal dalam perjuangan untuk bangsanya, Indonesia!
Dokter Kwa lebih sering memberi uang kepada pasiennya yang susah. Kehebatan dan ketenaran dokter Kwa tidak hanya dikenal di Batavia, tapi juga ke daerah-daerah lainnya, seperti Serang dan Cirebon. Beliau mengobati pasien di mana pun berada, sejauh yang bisa dicapai. Tak jarang ia harus tidur dalam mobil.
Azmi Abu Bakar dalam tulisannya tentang RS Jang Seng Ie(RS Husada) menuliskan kekagumannya dengan Dr Kwa Tjoan Sioe, kemampuannya Dr Kwa menulis artikel di surat kabar dibarengi dengan keberaniannya mengecam praktek penjajahan Belanda.
Azmi Abu Bakar mendapatkan keterangan sangat berarti bagaimana orang yang sangat kaya, yaitu pemilik balsem Cap Macan, Auw Boen Hauw, harus merayu Dr Kwa Tjoan Sioe, sebagai pendiri R.S Jang Seng Ie (Husada) agar mau menerima sumbangan darinya. Dr Kwa, mulanya menolak, tapi akhirnya setuju.
Ketika Auw Boen Hauw memberikan pandangan, bahwa dengan menerima sumbangannya, maka Dr Kwa dapat membangun paviliun, agar orang kaya dapat datang dan mau berobat di rumahsakitnya. Lalu uang biaya pengobatan dari orang-orang kaya tersebut dapat dipakai untuk mengobati lebih banyak lagi orang-orang miskin. Keterangan ini merupakan informasi yang disampaikan langsung oleh Ibu Myra Sidharta, tokoh senior peneliti Peranakan Tionghoa di Indonesia. Diperkuat oleh keterangan dari buku karangan Prof Leo Suryadinata yang berjudul Prominent Indonesian Chinese.
Azmi Abu Bakar juga kagum sama Mayor Tan Tjien Kie.Majoor-titulair der Chinezen. Mayor Tan Tjien Kie lahir 25 Januari 1853 meninggal 13 Februari 1919.
Mayor Tan Tjien Kie adalah Sosial Enterpreneurship. Pengusaha yang berjiwa Sosial Semasa hidupnya banyak membantu kegiatan Sosial. Mayor Tan Tjien Kie memberikan sumbangan 10.000 Gulden untuk pembangunan Rumah Sakit di Cirebon.
Menurut Rencana kedatangan Azmi Abu Bakar ke Cirebon akan disambut pertunjukan Barongsay dan Liong. Banyak orang Tionghoa dari Cirebon sudah lama rindu untuk berjumpa dengannya.
我们播下的善行,不会白费,会结出生命的果实。
Wǒmen bō xià de shànxíng, bù huì báifèi, huì jié chū shēngmìng de guǒshí. Artinya perbuatan baik yang kita tanam, tidak akan sia sia, akan menghasilkan buah kehidupan. (Jeremy Huang)