Prof. Rokhmin Dahuri: Petani Sejahtera, Lahan Terjaga, Sawit Diselamatkan

Prof. Rokhmin Dahuri: Petani Sejahtera, Lahan Terjaga, Sawit Diselamatkan

Oleh Jeremy Huang Wijaya

Senin, 24 November 2025

Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Prof. Dr. Rokhmin Dahuri, menyampaikan sejumlah catatan penting dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi IV DPR RI bersama Menteri Pertanian RI. Mulai dari capaian swasembada beras, kesejahteraan petani, perlindungan lahan pertanian, hingga tata kelola sawit dan penanganan Satgas PKH–Danantara.

1. Apresiasi: Swasembada Beras & “Era Kebangkitan Pertanian”
Rokhmin menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Menteri Pertanian dan jajaran, berdasarkan fakta kungker/reses di lapangan. Ia menyebut Indonesia diperkirakan mencapai swasembada beras tahun ini, dengan target produksi sekitar 34 sekian juta ton dan konsumsi nasional sekitar 31 sekian juta ton. Capaian ini disebutnya sebagai “era kebangkitan pertanian”, sesuai prediksinya pada RDP pertama. Ia juga mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) naik dari 119 menjadi 124,3, serta realisasi anggaran Kementan yang mencapai 72% (Oktober) dan diperkirakan 93,8% (Desember), yang menurutnya sudah prestasi baik dalam kriteria BPK.

2. Pendapatan Petani: Tak Cukup Hanya NTP
Berdasarkan data BPS yang ia sampaikan, pendapatan petani rata-rata sekitar Rp 2,4 juta/bulan, sementara rata-rata nasional sekitar Rp 2,7 juta/bulan, sehingga sektor pertanian masih yang terendah dari sisi pendapatan. Ia menegaskan bahwa kesejahteraan petani tidak boleh hanya dilihat dari NTP, tetapi juga dari real income (pendapatan riil). Merujuk data Bank Dunia, ia menyebut bahwa petani sejahtera berada di kisaran Rp 7,5 juta/bulan. Dengan kondisi saat ini (2,4 juta vs 7,5 juta), ia menyebut ini sebagai PR bersama antara Kementan dan Komisi IV, dan merekomendasikan: “Terus Pak, upayakan agar kesejahteraan petani itu terus meningkat.”

3. Swasembada Pangan & Risiko El Niño
Rokhmin mengingatkan bahwa swasembada pangan jangan berhenti hanya di beras. Ia menyebut perlunya memperluas swasembada ke komoditas penting lain yang Indonesia punya potensi, yaitu jagung, kedelai, gula, dan daging. Ia menyampaikan keyakinan bahwa dengan leadership Menteri Pertanian yang dibackup penuh Presiden, target tersebut bisa dicapai dalam masa kepemimpinan Presiden Prabowo. Di saat yang sama, ia mengingatkan bahwa surplus beras tahun ini (sekitar 2 juta ton lebih) tidak terlepas dari faktor iklim: data BMKG menunjukkan El Niño tahun ini pendek, musim kering juga pendek. Karena itu, ia meminta agar Ketahanan Pangan menyiapkan “jurus mitigasi” jika ke depan El Niño lebih panjang, seperti tahun 2021–2022.

4. Varietas Climate Resilient & Mitigasi Hayati
Dalam kunjungan ke Bali bersama Ketua Komisi IV dan Kepala Badan, Rokhmin mengaku “surprise” karena temuan Badan Perakitan dan Modernisasi Pertanian belum menunjukkan adanya spesies-spesies yang climate resilient. Padahal, ia pernah mendengar bahwa di Kementan sudah ada jenis padi yang tahan terhadap perubahan iklim, baik terkait kenaikan temperatur maupun kadar garam. Ia menanyakan dan mendorong disiapkannya biological mitigation berupa spesies/varietas yang tahan perubahan iklim, bukan hanya untuk beras, tetapi juga untuk jagung, kedelai, dan seterusnya.

5. Economic of Scale, Skala Lahan, Alih Fungsi & “Back to Pupuk Organik”
Dari sisi economic of scale, berdasarkan catatan BPS 20 tahun terakhir, ia menyebut lahan garapan padi sawah di Pulau Jawa rata-rata hanya 0,4 hektar, padahal economic of scale padi sawah adalah 2 hektar, yang disebutnya baru bisa menghasilkan sekitar Rp 7,5 juta/bulan. Dari diskusi dengan Menteri Pertanian China, ia menyampaikan bahwa sejak tahun ‘78, lahan pertanian China 120 juta hektar dan hingga kini tetap 120 juta hektar. Salah satu faktor: tidak boleh lagi ada pembangunan landed house di lahan pertanian; perumahan dialihkan ke apartemen, sehingga tidak memakan lahan pertanian. Dari laporan di Bali, ia menyebut konversi lahan pertanian nasional sekitar 60.000 hektar per tahun. Ia menegaskan bahwa secara agroekologi, Jawa dan Bali adalah lahan paling subur, bukan hanya di Indonesia tetapi “on earth”, dan harus dipertahankan. Ia menyebut Menteri punya “power” untuk mencegah lahan pertanian di Indramayu dan Cirebon berubah menjadi perumahan.

Sebagai problem struktural berikutnya, ia menyoroti penurunan kualitas tanah di Jawa, berdasarkan data IPB dan Litbang Pertanian: terjadi soil compaction, penurunan mikroba, dan penurunan unsur hara. Saran yang ia sampaikan: “back to pupuk organik”. Ia mendorong agar produsen pupuk organik diaudit—produsen yang bermasalah ditutup, produsen yang baik dikembangkan. Ia menyebut bahwa pertanian Jepang sekarang 70% menggunakan pupuk organik, dan menegaskan bahwa hanya pupuk organik yang bisa menyelamatkan penurunan kualitas tanah di Jawa, dan boleh jadi di pulau lain.

6. Rantai Pasok, Alsintan, Irigasi & Hama
Rokhmin menyebut “terfragmentasinya manajemen sistem rantai pasok” sebagai problem struktural terakhir: ketika tidak panen, harga tinggi; begitu panen, harga “mendadak sontak turun”. Keluhan lama seperti petani kekurangan pupuk dan bibit masih muncul. Ia menilai Menteri sudah “excellent” di bidang ini, namun mengingatkan agar manajemen rantai pasok tidak lagi “jatuh bangun seperti lagu Christina”, melainkan stabil dan prediktif. Dari temuan lapangan, ia juga menyampaikan soal kualitas alsintan di Cirebon: alsintan, termasuk combine harvester, dinilai tidak seperti dulu, terjadi ganti merek terus sehingga kualitas berubah. Ia menegaskan petani sangat terbantu dengan bantuan alsintan (termasuk Irpom), namun meminta agar kualitas alsintan yang dipilih benar-benar baik. Untuk irigasi, ia menggambarkan kondisi sebagai “irigasi brutal”: ada yang rusak, kurang, dan seterusnya. Ia menyatakan bahwa bila bantuan benih dan pupuk sudah berjalan, dan irigasi diperbaiki, maka keadaan akan “mantap sekali”. Terkait hama penyakit, ia menyebut tikus dan hama lain masih berkembang di Jawa Barat, terutama Indramayu, dan meminta agar kondisi ini dibantu penanganannya.

7. Sawit, Satgas PKH, Danantara & Risiko Menghancurkan Sumber Pertumbuhan
Dua minggu sebelum Raker, Rokhmin menerima Asosiasi Sawit. Ia menyampaikan bahwa jika sawit tidak dihitung, perdagangan pertanian menjadi negatif. Indonesia adalah produsen sawit terbesar di dunia, dengan sekitar 70% CPO berasal dari Indonesia, dan devisa dari sawit sekitar 39 miliar dolar AS, yang ia sebut sebagai salah satu penopang utama. Terkait tata kelola, ia menyampaikan keprihatinan terhadap Satgas PKH yang disebutnya “geblau” dan “grusa-grusu” (gegabah), dan mencontohkan perusahaan sawit yang sudah bagus tetapi ikut ditindak dan dihukum. Ia juga menyoroti Danantara yang menurutnya kurang kompetensi di bidang sawit, meski sekitar 3,7 juta hektar lahan diambil alih Satgas dan dijadikan aset Danantara, namun tidak dikerjakan sendiri dan dikembalikan lagi kepada pengusaha nakal. Karena itu, ia meminta kewibawaan dan “powerful”-nya Menteri Pertanian digunakan untuk:

> “Selamatkan sawit dengan cara benar-benar diteliti. Kalau pengusaha yang nakal memang harus dibabat, tapi kalau yang baik, tolong dijaga.”

Prof Dr Rokhmin Dahuri juga menjabat sebagai Ketua DPP PDI-Perjuangan Bidang Kelautan Perikanan tersebut mengingatkan bahwa pengangguran berada di titik tertinggi, pabrik tekstil 90% sudah gulung tikar, PHK terjadi di mana-mana, dan sektor pertanian dijadikan andalan. Dalam konteks itu, ia menegaskan bahwa bila sumber pertumbuhan yang sudah ada dihancurkan, maka “berdosa kita semua.”

#KomisiIVDPRRI #RokhminDahuri #KementerianPertanian #PetaniSejahtera
#SwasembadaBeras #PupukOrganik #SawitIndonesia #KedaulatanPanganKetua DPP PDI-Perjuangan Bidang Kelautan Perikanan tersebut mengingatkan bahwa pengangguran berada di titik tertinggi, pabrik tekstil 90% sudah gulung tikar, PHK terjadi di mana-mana, dan sektor pertanian dijadikan andalan. Dalam konteks itu, ia menegaskan bahwa bila sumber pertumbuhan yang sudah ada dihancurkan, maka “berdosa kita semua.”*
Kata Rokhmin Dahuri dalam pemaparannya pertemuan nya dengan Menteri Pertanian di Gedung DPR-RI

Comment