Gajah Hukum Represif di Pelupuk Mata dan di Seberang Lautan
Sudah banyak tokoh dan institusi yang menegaskan jika Pasal 263 ayat (1) RKUHP tentang Penghinaan Presiden berpotensi menjadi alat represi. Bahkan sebagian pihak menyatakan jika Pasal 263 ayat (1) KUHP tersebut merupakan ancaman nyata bagi demokrasi.
Saya sepakat dengan pandangan tersebut, namun sesungguhnya saat ini kita sudah punya persoalan besar lain terkait adanya ketentuan hukum yang dianggap menjadi alat represi kekuasaan, yaitu ketentuan Pasal 45 A ayat (2) UU ITE.
Pada intinya Pasal 45 A ayat (2) UU ITE tersebut mengatur ancaman hukuman minimal 5 tahun bagi siapa saja yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Masalah terbesar dalam Pasal 45 A ayat (2) UU ITE adalah tidak jelasnya batasan istilah golongan dalam konsep SARA. Karena tidak ada batasan, penegak hukum kerap mengkategorikan pemerintah sebagai golongan, dan tindakan yang dimaksudkan mengkritik pemerintah beresiko dikategorikan sebagai tindakan yang menimbulkan kebencian berdasarkan SARA.
Padahal konsep SARA dahulu didesain untuk mencegah konflik horizontal di dalam masyarakat. Pemerintah jelas bukan bagian dari masyarakat karena berposisi vertikal di atas masyarakat. Jadi pemerintah tidak dapat dikategorikan sebagai golongan sebagaimana dimaksud dalam konsep SARA.
Aneh tapi nyata dan memang ada contoh kasusnya. Asma Dewi dituntut 2 tahun penjara berdasarkan Pasal 45 A ayat (2) UU ITE salah satunya karena mengkritik pemerintah terkait impor jeroan dengan mengatakan rezim koplak. Dalam dakwaan disebut Asma Dewi bisa menimbulkan kebencian SARA, yaitu terhadap golongan pemerintah.
Salamuddin Daeng yang mengkritik pemeritah soal berita pembelian Freeport yang ia anggap tidak benar, juga dipanggil dan diperiksa dengan dasar Pasal 45 A ayat (2) UU ITE. Saat pemeriksaan kami tanyakan kepada pemeriksa mengapa Salamuddin Daeng dipanggil dengan pasal tersebut, disebutkan bahwa yang dimaksud golongan adalah golongan pemerintah.
Jadi sebenarnya kita tidak perlu menunggu waktu berlakunya Pasal 263 ayat (1) KUHP untuk melihat aktivis yang bersikap kritis harus berhadapan dengan hukum, saat ini pun hal tersebut sepertinya sudah terjadi.
Kalau ada pepatah semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak kelihatan, maka dalam kasus ini yang di seberang lautan dan di pelupuk mata sama-sama gajah atau bahaya sangat besar bagi demokrasi. Pasal 45 A ayat (2) UU ITE dan Pasal 263 ayat (1) RKUHP adalah ancaman nyata bagi demokrasi kita.