KEPEDULIAN KHUSUS BAGI PEREMPUAN DAN ANAK BUMI PAPUA
JAKARTA.SJN COM.– Pembangunan manusia di Papua terkait dengan upaya pencapaian kesetaraan dan keadilan gender serta upaya pemenuhan dan perlindungan hak anak masih memerlukan perhatian khusus. Diperlukan kepedulian dan rasa empati dari para tokoh agama, tokoh adat, dan seluruh komponen masyarakat untuk saling bersinergi dan memberikan kekuatan yang sangat luar biasa dalam upaya kita mewujudkan perempuan dan anak yang sejahtera di Papua. Jakarta, Jumat (14/12)
“Perempuan dan anak dalam konteks budaya Papua memiliki posisi yang sangat penting, karena berkorelasi dengan berbagai aspek dalam arena kehidupan termasuk kelompok kerabat besarnya serta posisi anak yang merupakan aset dalam keluarga berperan penting dalam berbagai aktifitas sosial ekonomi keluarga. Dimensi lokal ini perlu dimaknai secara baik serta perlu didiskusikan secara intensif dengan semua elemen masyarakat yang ada sehingga upaya pencapaian pemenuhan hak anak dan kualitas hidup anak di Provinsi Papua dapat dilaksanakan secara maksimal,” tutur Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise dalam kegiatan “Workshop Hasil Penelitian Kondisi Perempuan Dan Anak di Provinsi Papua” yang diselenggarakan oleh Kemen PPPA dengan Lembaga Ilmu Penegtahuan dan Teknologi (LIPTEK) Papua.
Secara nasional, Indeks Pemberdayaan Gender (IPG) mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan. Pada 2015, angka IPG nasional adalah 70.83 dan pada 2017 menjadi 71.74. Namun, secara khusus Provinsi Papua justru mengalami penurunan. Pada 2016 angka IDG di Papua mencapai 64.73 dan pada 2017 menjadi 61.89. Hal ini berarti jumlah dan persentase perempuan di bidang ekonomi, politik dan pembuat keputusan masih harus ditingkatkan.
Menteri Yohana menambahkan, bagi masyarakat di tanah Papua, secara sosio budaya sebenarnya tidak dikenal istilah kekerasan. Bahkan, perempuan dalam kehidupan sosial ditempatkan secara istimewa karena sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat. Sebagaimana ungkapan, “Tanah itu Ibu, Laut dan Hutan adalah Susu Ibu yang Menghidupi Bumi Papua”. Namun, karena pengaruh minuman keras dan narkoba yang semakin meluas di kalangan bapak-bapak maupun remaja mendorong mereka untuk mabuk dan mudah emosi hingga melakukan kekerasan.
Keberadaan struktur adat dan agama di masyarakat pesisir Papua juga tidak memberikan posisi tawar (bargaining position) bagi perempuan. Relasi dan ikatan patriarkhi yang begitu dominan berlaku di masyarakat pesisir pulau Papua, menyebabkan posisi perempuan senantiasa terdominasi dalam struktur adat maupun agama.
“Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi perempuan dan anak di Provinsi Papua, untuk memicu upaya bersama dalam menekan angka ketidaksetaraan perempuan dan kekerasan. Penelitian ini dilaksanakan dalam periode tiga bulan yaitu mulai September hingga November 2018. Untuk tahap pertama penelitian dilakukan di Kabupaten Nabire, Kota Jayapura. Tahap kedua dilakukan di Kabupaten Asmat dan Kabupaten Jayawijaya,” ujar Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (LIPTEK) Papua, J.R Mansoben, MA.
“Saya memiliki harapan besar bahwa hasil rekomendasi dari penelitian ini dapat mampu mengembangkan kepedulian dan komitmen dari Pemerintah Pusat dan Daerah serta seluruh elemen masyarakat untuk mengembangkan strategi dalam mendukung pecepatan upaya peningkatan kualitas hidup perempuan dan anak. Mari bersama kita dukung kebijakan, program dan kegiatan bagi perempuan dan anak Papua sesuai dengan kebutuhan spesifiknya,” tutup Menteri Yohana. (hms kpppa)