Hukrim

Mengapa Eks-Napi Asimilasi Kembali Berulah? Inilah Tinjauan Psikologisnya

BANDUNG.SJN COM.-Peraturan kementerian Hukum dan HAM nomor 10 tahun 2020 mengenai program asimilasi dan integrasi pada narapidana di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan), dilakukan dengan tujuan untuk mengantisipasi penularan covid-19. Hal ini bisa jadi tepat sebagai upaya untuk memberlakukan physical distancing didalam lapas mengingat bahwa adanya over capacity pada hampir seluruh rutan-lapas di Indonesia.

Namun disisi lain, pembebasan narapidana memunculkan kekhawatiran di masyarakat akan adanya potensi tindakan kriminal yang terulang. Ditambah lagi adanya peraturan mengenai pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang memunculkan adanya keterbatasan gerak untuk masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya.

Beberapa tindak kejahatan yang marak terjadi pada masa pandemic diantaranya perampokan, pembegalan sampai pencurian. Dilansir dari kompas.com (25/5/2020) menurut kepala bagian penerangan umum (Kabag Penum) Polri Kombes Ahmad Ramadhan, terdapat 135 napi yang kembali ditangkap setelah mendapat kebijakan kemenkumham akibat adanya covid-19.

Dollar, dkk & Miller (1939) adalah ahli psikologi yang menyatakan bahwa agresi selalu berasal dari frustasi dan frustasi selalu menghasilkan agresi. Ketika suatu aktivitas untuk mencapai tujuan terhalangi, perasaan frustasi akan meningkat sehingga individu akan berusaha untuk mengurangi rasa frustasi tersbut. Didalam ilmu psikologi terdapat dua istilah yang menggambarkan bagaimana seseorang menghadapi dan menghindari setiap kejadian, hal ini dikenal dengan istilah fight (menghadapi) or flight (menghindari).

Seseorang yang melakukan menghindari permasalahan (flight), secara sadar akan mengalami perasaan takut, cemas dan frustasi yang menimbulkan kemarahan, emosi marah inilah yang memicu adanya agresi.

Dalam situasi pandemic covid-19 seperti sekarang ini, banyak orang yang kesulitan dalam bekerja untuk mendapatkan penghasilan. Adanya peraturan mengenai PSBB hingga banyaknya perusahaan yang memutuskan untuk melakukan PHK juga dapat menjadi faktor yang menyebabkan munculnya frustasi yang mendorong perilaku agresi di masyarakat yang dikaitkan dengan adanya kebutuhan yang semakin meningkat dan ruang gerak yang menyempit namun harus tetap dipenuhi.

Oleh karena itu, rasa frustasi dapat mendorong seseorang untuk melakukan tindakan kejahatan. Bahkan individu yang sebelumnya tidak terlintas untuk berfikir melakukan kejahatan menjadi terdorong melakukan tindak kejahatan karena rasa frustasi yang dirasakan.

Adanya labelisasi pada mantan narapidana semakin memperkuat stigma negatif terhadap tindakan kriminal yang dilakukan. Hal ini juga dapat menjadi salah satu faktor pendorong yang memungkinkan mantan pelaku kriminal mengulangi tindakannya. Edwin M. Lemert (1960) mengatakan individu melakukan penyimpangan karena adanya labeling yang diberikan dari masyarakat telah di cap sebagai ‘pelaku kriminal’ pada individu yang melakukan penyimpangan primer yang akhirnya berakibat pada pengulangan perbuatan penyimpangan sekunder.

Dalam masa pandemic ini kita sebaikya selalu menjaga diri dari perilaku tindak kejahatan. Kita menyadari bahwa ruang gerak yang terbatas dan kebutuhan yang meningkat tidak sepenuhnya disalahkan pada situasi yang terjadi hal ini kembali pada kendali diri sendiri meskipun terdapat pengaruh dari lingkungan pada individu untuk melakukan tindak kejahatan.

Febri Ratna Dewi, Mahasiswi Psikologi, Universitas Pendidikan Indonesia