Ekonomi

Solusi Carut Marutnya Produksi Kedelai Nasional dan Membludaknya Impor Kedelai

JAKARTA.SJN COM.- Harga kedelai di pasaran melonjak dari Rp 7.200 menjadi Rp9.200 per kilogram. Akibatnya sebanyak 5.000 pelaku usaha kecil dan menengah atau UKM di DKI Jakarta menghentikan proses produksi tahu dan tempe selama tiga hari, terhitung mulai tanggal 1 hingga 3 Januari 2021. Sayangnya kenaikan harga tersebut berasal dari kedelai impor bukan kedelai lokal, mengingat tata niaga kedelai di Indonesia mengacu pada pasar bebas atau internasional.

Menanggapi hal ini, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyampaikan, kondisi saat ini merupakan imbas dari kebijakan pasar bebas sejak Indonesia menjadi anggota WTO tahun 1995 dan Letter of Intent (LOI) IMF dengan Pemerintahan Soeharto pada tahun 1998. Awalnya produksi petani kedelai di tingkat lokal sanggup memenuhi 70 – 75 persen kebutuhan kedelai nasional, impor hanya sekitar 20 persen. Kondisi ini sekarang terbalik, dimana kedelai impor menjadi sumber utama kebutuhan kedelai nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri menyebutkan impor kedelai Indonesia sepanjang semester I tahun 2020 mencapai 1,27 juta ton.

Henry mengingatkan, pemerintah harus berhati-hati, karena ini semua bisa saja cara pedagang pasar global untuk terus perluas pasar kedelai di Indonesia. Kedelai impor ini pun bisa dipastikan adalah produk GMO yang diimpor dari Amerika Serikat, dan Amerika Selatan seperti Brasil dan Argentina

“Gejolak harga kacang kedelai ini juga bisa sebagai upaya pengenalan benih kedelai hasil rekayasa genetik atau GMO (Genetically Modified Organism) untuk dikembangkan di Indonesia yang berpotensi besar menghilangkan benih-benih kedelai lokal. Untuk di Indonesia sendiri impor kedelai juga masih dikuasai oleh korporasi transnasional skala besar seperti Cargill,” kata Henry di Medan, Sumatera Utara pagi ini (05/01).

Henry menyebutkan kendati Indonesia mengimpor kedelai dalam jumlah yang besar, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada Indonesia masih termasuk negara yang mau memproteksi pasar dalam negerinya. Terdapat upaya untuk meningkatkan produksi dengan gerakan menanam kedelainya untuk memenuhi kebutuhan nasional. Sebagai implementasi dari Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 dan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Nomor 19 Tahun 2013.

“Hanya saja upaya untuk mengimpor kedelai ini dikhawatirkan akan semakin gencar usai hadirnya UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Sebab UU Cipta Kerja menghapus larangan impor bila kebutuhan dalam negeri mencukupi maupun prioritas penggunaan produk pangan domestik. Tidak hanya itu, dihapuskannya pasal 11 ayar (2) dan (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman juga membuat produk GMO lebih mudah beredar di Indonesia,” paparnya.

Upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi kedelai dalam negeri sebenarnya sudah diinisiasi oleh Kementerian Pertanian (Kementan). Menteri Pertanian saat itu, Amran Sulaiman, meluncurkan program peningkatan produksi kacang kedelai melalui proyek pajale (padi jagung, dan kedelai), meskipun proyek ini gagal memenuhi target yang direncanakan.

“Kementerian Pertanian sempat menarget produksi kedelai pada 2019 bisa mencapai 2,8 juta ton untuk memenuhi kebutuhan yang diperkirakan mencapai 4,4 juta ton. Namun hingga Oktober 2019 hanya tercapai 480.000 ton atau 16,4% dari target. Pada 2018 juga sama, dari target 2,2 juta ton produksi kedelai, hanya terealisasi 982.598 ton,” paparnya.

Henry melanjutkan, permasalahannya adalah bukan karena tidak bisa peningkatan tetapi faktor ketersediaan dan luas tanah yang kurang menjadi salah satu penyebab. Karena itu program reforma agraria harusnya bisa dipercepat untuk bisa memperluas lahan untuk tanaman kedelai dan pangan lainnya.

“Program pajale menanam di tanah yang sama. Petani tidak mau menanam padi, bersama dengan jagung atau kedelai. Petani pilih padi dan jagung saja, lebih mudah tanam padi diselingi dengan jagung, daripada padi dengan kedelai, walau tanah lebih subur. Karena kedelai itu punya unsur N. Beda dengan di Latin Amerika, mereka tanam jagung dan kedelai saja,” paparnya.

Kedelai Tidak Menarik

Hal senada disampaikan Ketua Pusat Perbenihan Nasional (P2N) SPI, Kusnan. Ia menjelaskan, kedelai adalah tanaman sub tropis.

“Jadi di sini produktivitasnya di bawah sub tropis. Meskipun demikian produktivitasnya masih bisa ditingkatkan; baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi,” terangnya.

Kusnan melanjutkan, permasalahannya, sistem budidaya kedelai masih dilihat sebelah mata oleh pemegang kebijakan.

“Contohnya, untuk benih masih belum ada identifikasi varietas mana yang unggul, standart SOP-nya seperti apa, daerah mana yang berpotensi juga belum terpetakan secara maksimal, belum juga harga, dan lainnya,” katanya.

Kusnan menjelaskan, dulu ada varietas gepak ijo, gepak kuning, dan galunggung. Namun kedelai ini sudah tidak diminati oleh petani karena bijinya kecil dan bisa merambat namun bisa ditumpangi dengan tanaman jagung.

“Kemudian ada varietas kedelai wilis yang bijinya besar-besar dan sekarang ada kedelai grobogan sehingga diminati petani namun produksinya masih di bawah empat ton per hektare. Kedelai ini biasanya ditanam petani pada musim gadu atau musim tanam kedua setelah padi dan juga sebagai selingan untuk meremediasi tanah biar tambah subur kembali sebelum ditanami padi kembali,” kata Kusnan.

“Kita tahu bahwa kedelai ini adalah tumbuhan kacang kacangan atau leguminisae yg berarti di dalam akar tumbuhan ini ada bintil akarnya mengandung bakteri ryzhobium yang bisa menambat nitrogen di udara bebas. Sehingga agar hasilnya lebih meningkat perlu ditambahkan pupuk yang memiliki unsur phospor dan silica,” tambahnya.

Kusnan juga menyarankan pemerintah harusnya menggali potensi lahan kedelai di luar Jawa dalam skala kawasan.

“Pulau Jawa sudah penuh dengan aneka ragam tanaman pertanian. Luas lahan semakin berkurang dengan dalih alih fungsi lahan pertanian ke industri,” tegas Kusnan.

Pria asal Tuban ini menjelaskan, kedelai itu salah satu komoditas yang tidak menarik bagi petani sekarang ini.

“Sudah produksinya sedikit, harganya murah lagi, begitu harganya melambung tinggi, pengrajin tahu dan tempe berteriak dan suaranya kenceng banget dan biasanya suara mereka lebih didengar pemerintah dari pada petani. Dulu harga kedelai 1,5 x harga beras. Sekarang, siapa yang mau tanam kedelai kalau cuma dihargai 6.000 atau setengah dari harga beras? Ya jelas kedelai kalah dengan komoditas lain seperti padi, jagung, maupun hortikultura lainnya seperti kangkung, dan kacang hijau,” paparnya.

Badan Pangan Nasional

Oleh karena itu Henry mengingatkan komitmen pemerintah untuk menolak impor pangan dan mengutamakan kesejahteraan petani di Indonesia.

“Permasalahan kedelai ini bisa diselesaikan dan solusinya tidak melulu harus impor, karena banyak hal yang masih bisa dibenahi. Presiden Joko Widodo harus ingat janji untuk mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia, yakni dengan menolak impor pangan yang menyangkut hajat hidup rakyat Indonesia,” terangnya.

Henry Juga mencatat hingga tahun 2020 pemerintah Indonesia masih belum menjalankan mandat dari Undang-Undang Nomor 18 Tentang Pangan, terkait pembentukan Badan Pangan Nasional. Padahal pembentukan Badan Pangan Nasional menjadi sangat relevan, mengingat kompleksnya permasalahan tata kelola pangan di Indonesia.

“Kehadiran Badan Pangan Nasional diharapkan dapat mengurai peliknya koordinasi antar kementerian atau lembaga yang urus pangan saat ini, keruwetan kebijakan pangan terkait impor maupun ekspor pangan, sampai dengan bagaimana kebijakan jangka panjang mengenai cadangan pangan dalam menghadapi situasi-situasi tertentu,” paparnya.

Henry juga mempertanyakan langkah pemerintah Indonesia membubarkan Dewan Ketahanan Pangan (DKP) di tengah belum terbentuknya Badan Pangan Nasional. Bersama dengan beberapa lembaga negara lainnya, DKP dibubarkan dengan alasan peningkatan efektivitas dan untuk mencapai rencana strategis pembangunan nasional.

“Kinerja Bulog selama 2020 juga dinilai belum maksimal. Hal ini mengingat di tengah pandemi dan kendala rendahnya serapan produksi di tingkat petani, Bulog seharusnya dapat memainkan perannya sebagai stock buffer,” tutupnya.(red)