Catatanku Mengenai Sebuah Nama: Galuh
Ciamis.Swara Jabbar com.-Bagiku tidak masalah nama daerah mau diganti menjadi apa. Siklus itu tampaknya akan terus terjadi, dari Ciamis mau menjadi Galuh, dulu dari Galuh menjadi Ciamis. Bagiku itu hanya sebuah nama.
Nama bisa sangat multitafsir tergantung bagaimana mengartikannya baik dari sisi tata bahasa maupun historis.
Menanggapi polemik hangat yang ada terkait nama sebuah daerah, saya teringat sudut pandang William Shakespeare. Ia mengungkapkan: “What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.” (Apalah arti sebuah nama?)
Andaikata kamu memberikan nama lain untuk Kabupaten Ciamis, kabupaten itu akan tetap menjadi daerah yang bernuansa Ciamis atau bernuansa Galuh. Nuansa kedaerahan tidak akan musnah sepanjang sejarah itu dijaga dan dilestarikan.
Namun kini banyak kelatahan di negeri karena kalau tidak heboh maka tidak gaul, tidak bisa mengikuti tuntutan zaman. Banyak yang lupa bahwa era jaman kadang by design kelompok iluminits maupun oligarki.
Jika Boleh Menawar, Tanpa Merubah Dokumen Administrasi_Cukup Jadi Nama Ciamis – Galuh
Merubah nama versi petung Jawa, juga masih sering diikuti oleh sebagian manusia. Atas nama leluhur mengganti nama, namun hanya sebatas dimensi leluhur. Sedangkan dalam dimensi administratif, tidak perlu merubah. Karena implikasinya yang sangat panjang dan costnya mahal.
Misal, di primbon Jawa. Ada nama dan istrinya misal bila dijumlah ketemu itungan lungguh yg artinya perekonomiannya sekedar cukup. Untuk mencapai Sri yang artinya duitnya mengumpul banyak dan barokah, maka itu berarti nama itu pun harus diganti dengan nama seijin leluhur.
Begitu pun nama daerah andai diganti, berani tidak menawar di prasyarat sehingga tidak merubah seluruh dokumen warga Ciamis? Bayangkan jika harus merubah semua dokumen negara karena ambisi sekelompok elit yang ingin namanya tercantum dalam sejarah Galuh di abad milenal ini.
Mengapa para elit hobi masturbasi nama? Bukankah kelaparan, ancaman sampah, ancaman merosotnya kualitas pendidikan, dekadensi moral, krisis identitas bangsa, dan lain-lain sangat membutuhkan perhatian dari semua pihak? Berpikirkah mereka jika suatu saat tanpa diduga terjadi Terranocity dimana daerah menghancurkan warganya?
Maka semestinya kita cerdas bersikap, meski perut sering kelaparan. (Zenal)