Bandung.Swara Wanita Net.-
Oleh Jeremy Huang Wijaya

Kota Bandung berdiri pada 25 September 1810.
Tumenggung Wiraangunangun atau Ki Astamanggala merupakan Bupati Bandung pertama (1632–1681).
Pada tahun 1844, penduduk di Kota Bandung mencapai 11.054 jiwa.

Wilayah Kota Bandung dan sekitarnya pada awalnya merupakan sebuah danau purba yang kemudian dikenal sebagai Danau Bandung Purba.

Sektor pendidikan kembali berkembang di daerah Bandung dengan dibukanya Sekolah Pendidikan Pegawai Bumiputera atau OSVIA pada tahun 1879.
Pada sektor transportasi, pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan Batavia-Bandung melalui Bogor dan Cianjur berhasil dirampungkan dan diresmikan tanggal 17 Mei 1884.

Kota Bandung sebagai ibu kota Provinsi Jawa Barat resmi berdiri pada tanggal 25 September 1810. Sebagai kota metropolitan, Bandung memiliki sejarah panjang sejak masa Kerajaan Mataram hingga zaman kolonial. Sosok Tumenggung Wiraangunangun yang juga dikenal dengan nama Ki Astamanggala menjadi Bupati Bandung pertama (1632–1681) di bawah pemerintahan Kerajaan Mataram yang dipimpin Sultan Agung.

Ia dilantik bersama dua bupati lainnya berdasarkan “Piagem Sultan Agung”, yang dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9 Muharam Tahun Alip (penanggalan Jawa). Saat itu ibu kota Kabupaten Bandung berada di Krapyak di pingiran hulu Sungai Citarum yang sekarang dikenal dengan Dayeuhkolot.

Selain Wiraangunangun ada sosok bupati yang menjadi pendiri Kota Bandung. Ia adalah bupati ke-6, yaitu R.A Wiranatakusumah II, yang memimpin Bandung pada 1794–1829 atau pada masa kolonial. Saat pembuatan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) dari Anyer hingga ke Panarukan yang melintasi Bandung, Wiranatakusumah II memindahkan ibu kota Bandung dari Krapyak, ke tepi barat Sungai Cikapundung, tepi selatan Jalan Raya Pos yang kini menjadi pusat Kota Bandung.

Kota Bandung diresmikan sebagai ibu kota Kabupaten Bandung dengan surat keputusan bertanggal 25 September 1810. Pada tanggal tersebut Wiranatakusumah II, memindahkan pusat pemerintahan dari Krapyak ke sekitar wilayah alun-alun Kota Bandung saat ini. Wilayah yang dipilih berada di sekitar Jalan Raya Pos yang kini dikenal sebagai Jalan Asia Afrika.

Asal Nama Kota Bandung tak lepas dari sejarah Kota Bandung tempo dulu. Hal ini karena nama Bandung sendiri disebut berasal dari kata “bendung” atau “bendungan”. Menurut wilayahnya pada zaman dulu Kota Bandung disebut berada di aliran Sungai Citarum yang terbendung oleh lava yang berasal dari Gunung Tangkuban Perahu. Hal ini menyebabkan daerah antara Padalarang hingga Cicalengka serta daerah antara Gunung Tangkuban Parahu hingga Soreang sempat terendam air.

Tempat itu kemudian berubah menjadi sebuah telaga besar yang dikenal dengan sebutan “Danau Bandung” atau “Danau Bandung Purba”. Setelah surut, bekas danau tersebut menjadi tempat berdirinya pemerintahan Kabupaten Bandung dan Kota Bandung.”
Sementara jika dilihat dari legendanya, nama Bandung itu berasal dari kendaraan air yang dipakai oleh pendiri kota itu, yakni RA. Wiranatakusumah II.  Menurut legenda, bupati ke-6 Bandung itu sering memakai kendaraan air untuk menyusuri Sungai Citarum dalam mencari tempat kedudukan kabupaten baru, agar bisa menggantikan ibukota lama, Dayeuhkolot. Bentuk kendaraan airnya berupa dua perahu yang diikat secara bersamaan, namanya adalah perahu Bandung.
“Bandung sebagai sebuah wilayah baru mengalami perkembangan yang cukup lambat. Kondisi ini tidak terlepas dari kebijakan Gubernur Jenderal G.A. Baron Van der Capellen yang menutup Karesidenan Priangan bagi orang Eropa dan China. Kebijakan ini dikeluarkan pada 9 Januari 1821 yang tertuang dalam Staatsblad atau Lembar Negara Nomor 6 Tahun 1821. Ini dilakukan agar Pemerintah Hindia Belanda dapat mengontrol perkebunan kopi sepenuhnya di Karesidenan Priangan.

Kebijakan ini turut berdampak pada minimnya jumlah penduduk di wilayah Bandung. Pada tahun 1844, penduduk di Kota Bandung masih mencapai 11.054 jiwa yang terdiri dari 11.000 penduduk asli dan 54 orang penduduk dari bangsa lainnya seperti China, Arab, dan bangsa Eropa.

Namun, kebijakan ini berakhir pada tahun 1852 karena adanya penentangan dari sejumlah pihak. Kota Bandung perlahan kembali bergeliat, terutama setelah ditunjuk sebagai ibu kota Karesidenan Priangan menggantikan Cianjur tahun 1864. Pemindahan ibu kota ini dilakukan setelah Cianjur terkena dampak dari letusan Gunung Gede.

Bandung secara bertahap mulai berkembang. Pembangunan pada berbagai sektor dilakukan seiring status baru sebagai ibu kota karesidenan yang disandang. Pada tahun 1866, pembangunan sekolah guru atau Kweekschool Voor Inlandsche Onderwijzers dimulai di sekitar wilayah yang kini dikenal sebagai Jalan Merdeka. Gedung tersebut kini digunakan sebagai kantor Polrestabes Bandung.”
“Selain pemerintahan dan pendidikan, perkembangan Kota Bandung juga terlihat dari sektor transportasi. Pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan Batavia-Bandung melalui Bogor dan Cianjur berhasil dirampungkan dan diresmikan tanggal 17 Mei 1884. Sayangnya, jalur tersebut sempat mati dan kini kembali coba direaktivasi oleh Kementerian Perhubungan.

Sejumlah perkembangan ini turut berdampak pada pertumbuhan jumlah penduduk. Hingga tahun 1896, sudah terdapat 29.382 penduduk yang menghuni kawasan Bandung, meningkat dua kali lipat dalam kurun waktu setengah abad.

Pada era ini, Bandung belum semaju Batavia. Belum semua wilayah tersentuh pembangunan. Sebagai gambaran, lokasi yang kini dikenal sebagai Jalan Braga kala itu masih dalam keadaan berlumpur. Sementara jembatan Cikapundung masih berupa balok kayu berlapis jerami.

Kota Bandung semakin berkembang jelang pergantian abad ke-20. Bahkan, Bandung dipilih sebagai wilayah tujuan pemindahan pabrik mesiu dan pabrik senjata atau Artillere Constructie Winkel dari Surabaya. Pabrik senjata ini menjadi cikal bakal PT Pindad yang masih eksis hingga saat ini. Ini menunjukkan bahwa Bandung mulai memiliki posisi strategis dalam bidang pertahanan militer.

Pemindahan pabrik senjata juga berdampak pada pemindahan para pegawai beserta keluarganya. Menyiasati itu, dibangunlah sebuah perkampungan di wilayah Kiaracondong untuk pegawai pabrik dari Surabaya. Kini, perkampungan tersebut dikenal sebagai wilayah Babakan Surabaya yang terletak di sisi utara Stasiun Kiaracondong.”
“Memasuki abad ke-20, Bandung mulai berkembang pesat seiring semakin banyaknya jumlah penduduk lokal dan bertambahnya kedatangan orang-orang Eropa. Ruas jalan mulai diaspal, salah satunya adalah Jalan Gereja pada tahun 1900 yang kini dikenal sebagai Jalan Perintis Kemerdekaan di Kecamatan Sumur Bandung.

Penduduk dari luar Bandung juga mulai berdatangan. Penduduk dari Bogor, misalnya, yang datang ke Bandung untuk bekerja pada proyek pembangunan rel kereta api Bogor-Bandung pada akhir abad ke-19. Daerah pemukiman pendatang dari Bogor dikenal sebagai Babakan Bogor atau yang kini berada di sekitar wilayah Kebon Kawung yang terletak di sisi utara Stasiun Bandung.

Orang-orang dari luar Bandung terus berdatangan untuk bekerja pada berbagai bidang seperti guru, pedagang, pelajar, hingga anggota militer. Bahkan, pada tahun 1905, juga telah terdapat Kampung Arab yang dihuni oleh sekitar 125 orang di lokasi yang kini dikenal sebagai Gang Aljabri dan Jalan Alkateri.

Bandung juga memiliki jalur rel kereta baru yang resmi dibuka pada 29 Desember 1906. Jalur kereta ini menghubungkan Bandung dengan Purwakarta, Cikampek, hingga Batavia. Jalur inilah yang hingga saat ini masih digunakan.

Hingga tahun 1906, jumlah penduduk di Kota Bandung telah mencapai 38.400 jiwa dengan luas wilayah sekitar 900 hektar. Sementara area yang ditempati oleh warga pendatang maupun warga asli adalah seluas 240 hektare.

Seiring perkembangan wilayah, pada tahun 1906 Kota Bandung memperoleh status gemeente atau kotapraja yang dipimpin burgemeester. Status ini diberikan pada 21 Februari 1906 saat Residen Priangan dijabat oleh G.A.F.J. Oosthout dan berlaku efektif pada 1 April 1906. Sejak itulah Kota Bandung resmi lepas dari Kabupaten Bandung, walaupun ibu kota Kabupaten Bandung masih terletak di Kota Bandung.

Status ini diberikan karena Bandung telah memiliki wilayah yang tetap, penduduk yang cukup banyak, ketersediaan fasilitas bagi warga, dan adanya penguasa yang menyelenggarakan pemerintah. Sejak saat itu, Bandung secara resmi menjadi daerah otonom dalam pemerintahan Hindia Belanda. Luas wilayah Bandung semakin berkembang pada tahun 1911 menjadi 2.150 hektare dengan luas area yang ditempati seluas 300 hektare.”
“Jelang memasuki dekade 1920-an, Bandung mulai dirancang secara serius oleh pemerintah kolonial dan dicanangkan sebagai pusat angkatan perang Hindia Belanda. Wacana ini terlihat dengan sejumlah kebijakan pada bidang militer yang diarahkan ke Kota Bandung dan sekitarnya. Selain memindahkan pabrik senjata, Departemen Peperangan atau Departement van Oorlog juga pindah dari wilayah Jatinegara ke Bandung pada tahun 1916.

Selain pada bidang militer, Bandung juga dipersiapkan sebagai kota taman dengan pembangunan taman-taman di sejumlah titik. Dengan konsep ini, Bandung dirancang menyerupai Kota Paris yang pada saat itu juga memiliki banyak taman.

Pemerintah kolonial juga berencana untuk memindahkan pusat pemerintahan karena Batavia dinilai memiliki persoalan pada kesehatan. Posisi Batavia yang berada di lingkungan pesisir dan pelabuhan dikhawatirkan dapat memberikan dampak bagi kesehatan penghuninya jika terus berkembang setelah menjadi pusat pemerintahan.”
“Pendidikan di Bandung juga semakin berkembang dengan dibangunnya De Technische Hoogeschool te Bandung pada 3 Juli 1920 yang menjadi cikal bakal dari Institut Teknologi Bandung. Kampus teknik ini dibangun untuk mencukupi kebutuhan sumber daya manusia di bidang teknik. Ini dilakukan karena kendala hubungan Belanda dengan negara jajahan, termasuk Indonesia, sebagai dampak dari Perang Dunia I.

Rangkaian perkembangan Bandung pada dekade awal abad ke-20 turut berdampak pada semakin ramainya penduduk di kota ini. Tahun 1921, jumlah penduduk Bandung terus bertambah hingga mencapai 102.227 jiwa dengan komposisi 80 persen penduduk lokal dan 20 persen pendatang dari Eropa dan China. Jumlah ini belum termasuk pasukan militer yang diperkirakan sekitar 10.000 jiwa.

Bandung yang berstatus sebagai daerah otonomi terbatas resmi berubah sebagai kotamadya dengan otonomi penuh atau stadsgemeente. Status ini ditetapkan melalui Surat Keputusan Gubernur Jendral Nomor 3 tanggal 27 Agustus 1926.

Seiring berkembangnya Kota Bandung, para arsitek Belanda, salah satunya Thomas Karsten, merancang Kota Bandung pada tahun 1930 dengan konsep jangka panjang. Rancangan yang ditawarkan adalah perluasan Kota Bandung dalam jangka waktu 25 tahun dari sekitar 2.000 hektar menjadi 12.758 hektar. Kota ini dirancang sebagai tempat tinggal bagi 750.000 ribu jiwa penduduk. Rancangan kota ini dibentuk pada era jabatan wali kota Bertus Coops (1928-1934).

Pada bidang olahraga, sepak bola juga turut berkembang seiring pertumbuhan Kota Bandung. Pada 14 Maret 1933, perkumpulan sepak bola bernama Persib resmi terbentuk. Persib adalah hasil gabungan dari klub lokal yang telah terbentuk sebelumnya. Tanggal 14 Maret kemudian menjadi momen perayaan ulang tahun Persib Bandung hingga saat ini.”

memiliki tugu titik nol kilometer di Jalan Asia-Afrika. Di sinilah awal mula berdirinya kota yang berjulukan Paris van Jawa tersebut.

Kota Bandung memiliki Tugu tersebut dibangun usai Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels menancapkan tongkatnya di tempat itu, seraya memerintah wilayah di sekitarnya segera dibangun. Daendels menjadi penguasa Hindia Belanda Sejak 1808 hingga 1811.
Haryoto Kunto dalam bukunya Wadjah Bandoeng Tempo Doeloe (1984) menyebut, “perintah pemindahan tersebut baru dilaksanakan oleh residen Priangan, Van der Moore, pada tahun 1864, bertepatan dengan meletusnya Gunung Gede yang menggoncang Cianjur.”

Dari ibu kota Karesidenan Priangan, status kota Bandung kembali meningkat. Bandung didaulat sebagai Gemeente (kotapraja) pada 1 April 1906.

Peningkatan status ini didasarkan pada Undang-undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) yang dikeluarkan pada tahun 1903. Undang-Undang itu berisi: Desentralisasi (Decentralisasi Besluit), dan Ordonansi Dewan Kota (Locale Raden Ordonantie) yang dibuat tahun 1905..
Sekitar tahun 1800 ada pengusaha Tionghoa terkenal sukses bernama Tan Hay Hap