Regional

“Ketika Bayi Menjadi Komoditas, Hanya Islam Solusi Tuntas”

“Ketika Bayi Menjadi Komoditas, Hanya Islam Solusi Tuntas”

Oleh: Alfi Nur Tazkiyah (Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia)

Kasus jual-beli bayi kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, dua bidan di Yogyakarta ditangkap setelah terbukti menjual puluhan bayi sejak tahu 2010. Kedua pelaku menggunakan modus menerima bayi dari orang tua yang tidak mampu merawat dan kemudian menjual bayi tersebut dengan harga Rp 55 juta hingga Rp 85 juta, tergantung jenis kelamin.

Praktik ilegal ini telah berlangsung sejak 2010, dengan jumlah bayi yang dijual mencapai 66 anak hingga Desember 2024. Para pelaku juga membantu pembeli mendapatkan akta kelahiran secara ilegal. Atas tindakan mereka, keduanya diancam hukuman penjara hingga 15 tahun dan denda maksimal Rp 300 juta berdasarkan UU Perlindungan Anak (Republika, 12/12/2024).

Ironisnya, kasus ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, seorang ibu di Jakarta Barat ditangkap karena menjual bayinya akibat desakan ekonomi (Detiknews, 23/02/2024). Di Medan, seorang ibu juga melakukan hal serupa, menjual bayinya seharga Rp 20 juta melalui perantara (Kompas, 14/08/2024). Deretan kasus ini menggambarkan wajah buram yang terus berulang. Sayangnya, meski berkali-kali terjadi, kejahatan seperti ini sulit diberantas hingga ke akarnya.

Kondisi ini benar-benar miris sekaligus ironis. Bagaimana mungkin seorang ibu tega menjual darah dagingnya sendiri demi sejumlah uang yang tidak seberapa? Uang yang diterima bahkan tak sebanding dengan pengorbanan selama kehamilan dan konsekuensi setelah melahirkan. Tidak kalah parah, para penadahnya memilih jalan ilegal dan amoral demi keuntungan pribadi. Hidup dalam bayang-bayang sistem sekuler kapitalistik yang berorientasi pada materi, nalar dan hati nurani manusia pun menjadi tumpul.

Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dan Kekerasan Kementerian PPPA, Ciput Eka Purwanti, menyebut bahwa mayoritas ibu yang menjual bayi berasal dari kelompok rentan secara ekonomi. Kemiskinan menjadi faktor utama yang memaksa mereka mengambil langkah nekat ini. Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi, bahkan menyebut kasus-kasus ini hanyalah fenomena gunung es. Masih banyak kejadian serupa yang belum terungkap, menunjukkan bahwa masalah ini jauh lebih besar dari yang terlihat.

Praktik jual-beli bayi yang terus berulang menyoroti masalah sistemis dalam masyarakat. Kemiskinan yang menghimpit, maraknya kehamilan tidak diinginkan (KTD) akibat pergaulan bebas, hingga lemahnya penegakan hukum menjadi penyebab utamanya.

Masalah ini tidak bisa dilihat sebagai kesalahan individu semata. Sistem kehidupan yang sekuler kapitalistik, yang menempatkan materi sebagai orientasi utama, telah mencabut hati nurani manusia. Dalam sistem ini, bahkan nyawa manusia bisa menjadi komoditas demi keuntungan. Kentalnya budaya kapitalistik telah membutakan hati nurani, bahkan bagi seorang bidan yang seharusnya menjadi garda depan dalam menyelamatkan kehidupan.

Keberadaan sindikat terorganisir juga menjadi tantangan besar. Aparat hukum sering kali kalah cepat menghadapi para pelaku yang lihai mencari celah untuk melanjutkan aksinya. Sementara itu, negara masih belum berhasil dalam mengatasi akar masalah ini. Tanpa keberpihakan yang tegas dari pemerintah, kejahatan seperti ini akan terus berulang dan sulit dihentikan.

Untuk menyelesaikan masalah ini, diperlukan solusi sistemis yang tidak hanya menyasar pelaku, tetapi juga akar masalahnya. Pertama, perlu ada pelurusan cara memperoleh nafkah yang halal. Islam menetapkan jalur nafkah perempuan melalui ayah, suami, atau keluarganya. Jika jalur ini tidak tersedia, negara bertanggung jawab melalui baitulmal untuk memastikan kebutuhan dasar rakyat terpenuhi.

Kedua, pentingnya membangun ketakwaan individu melalui pendidikan berbasis akidah Islam. Sistem ini akan mencetak manusia berkepribadian Islam yang memiliki kasih sayang, sabar dalam menghadapi cobaan, serta yakin bahwa rezeki adalah jaminan Allah. Dengan ini, masyarakat akan lebih peduli membantu sesama tanpa pamrih, sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Maidah [5]: 2, “Tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.”

Ketiga, penerapan sanksi tegas berdasarkan syariat Islam. Sistem hukum Islam memberikan efek jera (zawajir) dan penebusan dosa (jawabir) bagi pelaku kejahatan. Sanksi ini dirancang untuk menjaga ketertiban dan mencegah terulangnya tindakan serupa.

Kasus jual-beli bayi ini seharusnya menjadi momentum untuk introspeksi mendalam. Solusi parsial tidak akan pernah cukup untuk mengatasi masalah yang berakar pada sistem kehidupan sekuler. Sudah saatnya kembali pada aturan Allah yang menjamin kesejahteraan dan keadilan bagi semua. Hanya dengan sistem Islam, kemanusiaan dapat dijaga, dan anak-anak—sebagai amanah Ilahi—akan mendapatkan haknya secara utuh.