Lindungi Pekerja Migran Perempuan Dan Keluarganya
Bogor.SJN COM. -Meningkatnya jumlah perempuan dalam bidang perekonomian ditandai dengan partisipasinya dalam dunia kerja, baik di dalam maupun luar negeri. Kebijakan pemerintah untuk memfasilitasi penempatan tenaga kerja perempuan, khususnya di luar negeri didorong oleh keinginan kuat para Pekerja Migran Indonesia (PMI) perempuan dengan alasan keterbatasan lapangan pekerjaan di dalam negeri, gaji yang lebih besar, dan permintaan PMI perempuan cukup terbuka tanpa mensyaratkan ijazah dan keterampilan yang menyulitkan.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Vennetia R Danes dalam Rapat Koordinasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (Perempuan) dan Implementasi Kelompok Bina Keluarga Tenaga Kerja Indonesia (BK-TKI) di Bogor, Jawa Barat mengatakan pemikiran PMI perempuan untuk bekerja di luar negeri seringkali dipengaruhi para PMI yang sukses tanpa mempertimbangkan latar belakang yang mendasari kesuksesannya. Äkibatnya banyak PMI yang sering mendapatkan perlakuan diskriminasi dan pelanggaran hak-haknya karena mereka memiliki kualitas dan keterampilan yang rendah ujarnya di Bogor Rabu (6/11/2018)
“Meski jumlah PMI perempuan yang prosedural lebih banyak dari laki-laki (21% laki-laki dan 30% perempuan), namun tingkat pelanggaran terhadap hak, diskriminasi, dan kekerasan yang dialami PMI perempuan lebih besar. Penyebabnya antara lain karena rendahnya pendidikan PMI perempuan, kurangnya kesiapan mental PMI perempuan, dan kurangnya informasi tentang migrasi yang aman pada perempuan. Kondisi tersebut mendorong Pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan kualitas PMI melalui berbagai terobosan, seperti seleksi yang ketat, peningkatan pendidikan dan keterampilan, peningkatan profesionalitas di bidang tertentu bagi calon PMI. Selain itu juga dilakukan berbagai perbaikan regulasi dan pelayanan dalam rangka meningkatkan perlindungan PMI perempuan sejak perekrutan hingga pulang kembali ke tanah air,” tambah Vennetia.
Selain permasalahan tersebut, hal yang juga perlu ditangani secara serius adalah keluarga TKI yang ditinggalkan. Permasalahan yang dihadapi TKI dan keluarganya menyangkut 3 (tiga) hal, yaitu (1) pengelolaan modal/remitan/kiriman hasil bekerja di luar negeri yang cenderung dimanfaatkan untuk keperluan konsumtif; (2) meningkatnya kasus-kasus keretakan hubungan rumah tangga, seperti meningkatnya perselingkuhan, bahkan berujung dengan meningkatnya perceraian dan penelantaran anak; (3) permasalahan pembinaan anak-anak TKI.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka Kemen PPPA mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Nomor 20 Tahun 2010 tentang Panduan Umum Bina Keluarga TKI dan Petunjuk Teknis Penerapan Kebijakan Bina keluarga TKI. BK-TKI merupakan salah satu upaya alternatif pemerintah sebagai wadah pemberdayaan bagi keluarga yang mempunyai anggota keluarga sebagai calon PMI, menjadi PMI, maupun PMI purna guna menanggulangi berbagai permasalahan melalui peningkatan ketahanan keluarga, peningkatan pemberdayaan ekonomi keluarga, dan menumbuhkan jiwa kewirausahaan. Hingga Desember 2017, telah terbentuk 117 kelompok BKTKI di 106 desa/kelurahan, 90 kecamatan, dan 63 kabupaten/kota di 12 provinsi.
Melalui Rapat Koordinasi BK-TKI ini diharapkan adanya sinergitas program dan kegiatan dari seluruh stakeholder, baik pemerintah pusat, daerah maupun lembaga masyarakat untuk memberikan perlindungan kepada PMI perempuan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.(Humas KPPPA)