Regional

Soeria Disastra Sastrawan Tionghoa Hari Raya Peh Cun Hari Raya Penyair

Bandung.Swara Jabbar Com.-

Oleh Jeremy Huang Wijaya

25 Juni 2023 di YDSP Jl Nana Rohana Bandung mengadakan acara perayaan hari Bacang disana Penulis bertemu dengan DR Djoni Toat Muljadi SH.MM ketua Masyarakat Tionghoa Peduli dan penulis juga bertemu Soeria Disastra Sastrawan Tionghoa Bandung. Banyak karya sastra yang Beliau Hasilkan. Beliau Sastrawan besar.

Soeria Disastra menceritakan kepada Penulis: “Bagi masyarakat Tionghoa Indonesia ada 3 hari raya terbesar yang selalu dirayakan, yakni hari raya Tahun Baru Imlek, hari raya Peh Cun dan hari raya Pertengahan Musim Gugur atau Festival Bulan. Tahun ini, hari raya Peh Cun, 5 Mei menurut kalender lunar, jatuh pada 3 Juni 2022. (Dan tahun 2023 jatuh pada 22 Juni.)

Soeria Disastra menjelaskan Peh Cun itu sebutan dialek Hok Kian (Min Nan) yang berarti lomba perahu. Lomba perahu merupakan salah satu keramaian dalam hari raya Peh Cun. Lambat laun masyarakat peranakan Tionghoa di Indonesia menyebut hari raya itu dengan istilah Peh Cun. Sesungguhnya hari raya Pe Cun dalam bahasa Tionghoa disebut duan wu jie. Peh Cun atau duan wu jie adalah hari raya tradisional Tiongkok yang bermula pada zaman “Peperangan Antar Negara Chun Qiu”, lebih dari 2000 tahun yang lalu. Sebetulnya ada beberapa versi mengenai asal muasal dan legenda yang berkaitan dengan hari raya Peh Cun ini, dan pada umumnya dimaknai penolakan bala dan penyakit. Tapi yang paling popular di antaranya adalah versi yang tercatat dalam karya monumental “Shi Ji” (“Catatan Sejarah Besar”).
Berdasarkan catatan“Shi Ji”, Qü Yuan (dibaca chü yuan) itu pejabat tinggi dibawah raja Chu Huai Wang pada zaman Chun Qiu.

Sebagai pejabat yang sekaligus intelektual, Qü Yuan memprakarsai standar rekrutmen berdasarkan kebijakan dan kecakapan, ia pun melaksanakan kebijakan memperkuat ketahanan Negara serta politik merangkul Kerajaan Qi untuk melawan ancaman keamanan dari Kerajaan Qin. Akan tetapi pemikiran dan sarannya itu mendapat perlawanan keras dari bangsawan Zi Lan beserta konco-konconya. Qü Yuan menjadi korban konspirasi dalam istana kerajaan, ia dicopot dan dibuang. Dalam pembuangan, Qü Yuan menciptakan syair-syair yang tak lekang dimakan waktu seperti “Li Sao”, “Tian Wen” dan “Jiu Ge”, menuangkan kecemasan dan kerisauannya akan nasib negara dan rakyatnya.

Lebih Lanjut Soeria Disastra menjelaskan Pada 278 SM, tentara Qin merebut ibu kota Kerajaan Chu. Qü Yuan amat sedih dan selalu tidak dapat menanggung rasa kehilangan akan tanah tumpah darahnya. Pada 5 Mei (Almenak Lunar), setelah menyelesaikan karya terakhirnya, “Huai Sha”, ia memeluk sebuah batu dan menceburkan diri ke dalam Sungai Mi Luo.

Dikisahkan bahwa setelah kamatiannya, penduduk Kerajaan Chu sangat berduka, mereka pada datang ke Sungai Mi Luo, berbelasungkawa dan mengenangnya. Para nelayan mengayuh perahu, beramai-ramai mencari jasadnya. Di antara mereka ada yang mencemplungkan makanan buat mahluk-mahluk di sungai agar tidaak memangsa tubuh Qü Yuan. Ada pula orang yang mengucurkan arak buat mahluk-mahluk, agar mereka tidak melukai Qü Yuan. Selanjutnya ada pula orang yang membuat nasi yang dibungkus dengan dedaunan dengan ikatan, yang selanjutnya berkembang menjadi bacang yang kita kenal sekarang. Maka lambat laun terbentuklah tradisi makan bacang, mengadakan lomba perahu naga, minu

m arak dan lain-lain untuk memperingati penyair patriotik Qü Yuan setiap tahunnya sampai zaman kiwari.
Mungkin tidak bisa dipastikan bahwa peristiwa Qü Yuan itu merupakan asal usul hari raya Pe Cun yang pasti, namun peri hal itu Qü Yuan telah menjadi kisah yang paling populer dan yang paling hidup berkaitan dengan hari raya Pe Cun. Karena Qü Yuan adalah penyair patriotik yang ulung, berkepribadian luhur, dipuja oleh kaum terpelajar dan rakyat umum di negeri Tiongkok.

Pada tahun 2009, hari raya Peh Cun (Duan Wu Jie) ditetapkan sebagai hari raya tradisional yang masuk dalam “Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity” oleh Unesco.

Orang-orang Tionghoa diaspora di seluruh dunia, termasuk orang Tionghoa yang telah menjadi penduduk permanen di Indonesia mewarisi tradisi hari raya Peh Cun, dengan segala aspeknya. Bacang sebagai makanan trasisional Tionghoa itu kini malah telah menjadi makanan yang sangat popular di negeri kita. Di kota Bandung, kira-kira sebelum dan sampai tahun 1950-an, ketika di daerah barat kota masih ada balong (danau) Situ Aksan, hari raya Peh Cun selalu dirayakan dengan keramaian naik perahu dan lomba perahu di sana. Tetapi sekarang danau itu sudah tiada, sudah ditumbun menjadi perumahan beberapa puluh tahun yang lalu. Keramaian itu telah menjadi kenangan yang indah bagi kaum Tionghoa yang sudah tua-tua. Beruntung Soeria Disastra pernah sekali dua kali mengunjungi keramaian itu. Ketika itu saya masih duduk di bangkau SD.

Di samping itu, kaum terpelajar masyarakat Tionghoa Bandung pernah pula mementaskan drama “Qü Yuan” di Gedung Concordia (Gedung Merdeka) pada awal 1950-an. Soeria Disastra beruntung pernah menyaksikannya dan meninggalkan kenangan yang mengharukan. Dikisahkan dalam drama itu, Qü Yuan dijebak untuk bertemu dengan permaisuri oleh lawan politiknya. Lalu permaisuri pura-pura pingsan, dan secara reflek Qü Yuan memapa dan merangkulnya.

Pada saat itu, tiba-tiba sang raja masuk dan menyaksikan adegan itu. Qü Yuan tidak bisa mengelak atas tuduhan bertindak kurang ajar kepada permaisuri. Saya ingat yang berperan sebagai permaisyuri raja Chu Huai Wang adalah guru saya di Sekolah Dasar Guang Hua (Sekolah Tionghoa di Jln.Lembong, sekarang menjadi Hotel besar), namanya Zhong Shourong, dan yang berperan sebagai Qü Yuan adalah seorang pemuda bernama Ding Zicai. Sayang nama-nama yang menjadi sutradara dan peran-peran lainnya, tidak ada dalam memori Soeria Disastra. Di luar cerita, kedua peran utama tersebut di atas selanjutnya memadu cinta dan menjadi sepasang suami-istri.

Bagi yang berminat, ada baiknya saya paparkan serba singkat perihal penyair Qü Yuan yang legendaris itu.
Qü Yuan (340-278 SM) adalah penyair dan negarawan di Kerajaan Chu pada zaman Peperangan Antar Negara zaman Chun Qiu. Dalam karyanya “Li Sau”, sesuai dengan judulnya, sang penyair melepaskan risaunya yang berkepanjangan atas keadaan negeri yang amat merisaukannya.

Dengan menggunakan metaphor putri ayu dan rerumput semerbak, Qü Yuan memanfaatkan banyak mitologi dan legenda serta imaginasinya yang sangat kaya, terciptalah sebuah syair romantik yang penuh warna, dengan konstruksi yang megah. Dengan puisi lirik bertema politik yang terpanjang dalam sejarah perpuisian klasik Tiongkok ini, Qü Yuan dianggap sebagai peletak batu pertama sastra romantisme di Tiongkok.
“Jiu Ge” (“Sembilan Nyanyian”) merupakan puisi lirik yang indah dan segar, diciptakan dengan bentuk eligi yang berlaku di kalangan penduduk. Isinya ternyata lebih banyak daripada yang disebut judulnya, yakni 11 buah.

“Tian Wen” (“Bertanya Kepada Langit”), sesuai dengan judulnya merupakan 170 lebih pertanyaan-pertanyaan berbentuk larik-larik puisi yang indah dan aneh-aneh. Di antaranya pertanyaan mengenai awalnya semesta, bah besar di jagat raya, realita depan mata, jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan dalam sejarah serta mitologi dan legenda,

Peh Cun, hari raya tradisional Tionghoa di Indonesia, asalnya disebut hari raya Duan Wu Jie, hari raya Duan Yang Jie, hari raya Perahu Naga dan lai-lain. Tetapi ia pun disebut Hari Raya Penyair, untuk mengenang penyair besar Tiongkok, Qü Yuan. Kata Soeria Disastra
Jeremy Huang bersama Soeria Disastra