Pendidikan

ZONASI KOK DI POLITISASI?

Bandung.Swara Jabbar Com.-Tahun pembelajaran baru 2023/2024 telah dilaksanakan serentak di Indonesia, dan masing masing Lembaga Pendidikan baik dari tingkatan SD hingga Perguruan Tinggi telah membuka penerimaan peserta didiknya masing-masing, beragam prosedur penerimaan dijalankan mulai dari jalur prestasi akademik, olahraga, affirmasi, hingga jalur zonasi.

Tantangan penerimaan peserta didik baru dari tahun ke tahunnya seakan tidak pernah surut kisruh ppdb dimulai dari adanya indikasi kecurangan dalam proses penerimaan, jual beli kursi, hingga ketersediaan sarana prasarana yang tidak berbanding lurus dengan keseluruhan anak didik seolah menjadi momok bagi kemajuan Pendidikan di Indonesia khususnya di Jawa Barat.

Dalam nomenklatur kenegaraan, pendidikan menjadi pondasi utama untuk mencapai cita-cita bangsa. Sebagaimana kita ketahui mencerdaskan kehidupan bangsa tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 kemudian dilanjutkan dalam pasal 31 yang mana tegas menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, yang selanjutnya diteruskan dalam bentuk aturan-aturan di bawahnya.

Tidak hanya itu, Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional telah memerintahkan untuk setiap pemerintahan yang memimpin di negara ini agar mengalokasikan 20 persen anggaran pembiayaan, baik APBN maupun APBD. Jika hal ini tidak dilaksanakan, kekhawatiran dunia pendidikan menjadi tidak terperhatikan secara terang dan memiliki kepastian anggaran.

Setelah berjalan 20 tahun semenjak di terapkan Undang-Undang tersebut, Indonesia seolah masih saja belum mampu menemukan ritme yang ideal dalam membangun grand design pendidikan nasional.

Berganti- ganti nya kurikulum dari KTSP hingga hari ini menjadi kurikulum merdeka belajar, bisa jadi salah satu contoh bahwa selain ketersediaan infrastruktur pendidikan yang merata, belum juga kita harus mengakui bahwa ketersediaan Sumber Daya Manusia pada bidang pendidikan masih sangat jauh dari kata Ideal.

Jika meninjau hasil ketercapaian yang selalu disampaikan oleh Lembaga Eksekutif (pemerintah) tentulah kita akan disajikan data keberhasilan dari pemerintah di setiap periodenya, namun bila kita mengukur dari total ketersediaan anggaran dan dibandingkan dengan hasil yang ada apakah ini sesuai? Saya rasa tidak.

Jawa Barat dengan penduduk terbesar di Indonesia, dengan total hampir 50 juta penduduk tentu bisa jadi acuan apakah sudah tepat guna dan tepat sasarannya kebijakan pendidikan hari ini.

Fakta bahwa pendidikan di Provinsi Jawa Barat belum mencapai angka 9 dalam rata-rata lama sekolah hari ini harusnya menjadi perhatian serius para pemangku kebijakan.

Lebih dalam ketika penulis meninjau ke lapangan, penulis masih menemukan banyak kontradiksi pada tahapan implementasi kebijakannya, pungutan liar yang terjadi pada institusi sekolah masih saja terjadi, diskriminasi anak didik, bahkan ketersediaan fasilitas sekolahnya itu sendiri kerap kali belum dapat dikatakan layak untuk menyelenggarakan Pendidikan.

Kembali kepada agenda yang telah terselenggara beberapa waktu yang lalu yaitu penerimaan peserta didik baru (PPDB). Penulis mencatat bahwa PPDB tahun 2023 ini diwarnai oleh beragam problematika yang harus menjadi perhatian baik bersama para aparat penegak hukum atau pemangku jabatan.

Sebagai contoh, sebanyak 4.791 pendaftar pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2023 untuk tingkat SMA, SMK, SLB di Jawa Barat didiskualifikasi atau dicoret, yang umumnya lantaran dokumen tidak sesuai dan persoalan kartu keluarga (KK). Hal itu adalah salah satu temuan yang menggemparkan atau bisa jadi ini ada kecurangan yang tersistem dan masif.

Kebijakan zonasi yang dikeluarkan pada tahun 2017 oleh Menteri Muhadjir Effendi ini memang memiliki tujuan baik agar ada pemerataan kualitas anak didik dapat terwujud. Namun seharusnya pemerataan diiringi oleh integrasi dari sektor lainnya baik SDM maupun infrastrukturnya.

Bahkan fakta jauh lebih menyedihkan yang ditemukan oleh penulis, sebagaimana disampaikan oleh Kepala Cabang Dinas VII Kota Bandung dan Kota Cimahi, bahwa dari 30 Kecamatan di Kota Bandung, ada 11 Kecamatan yang belum memiliki Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kecamatannya.

Hal ini tentunya kenyataan miris mengetahui bahwa Kota Bandung sendiri adalah ibukota Provinsi Jawa Barat, ternyata pemerataan infrastruktur pendidikan belum terasa, lalu mau bagaimana sistem zonasi ini berjalan?

Pada akhirnya penulis ingin menyampaikan kepada khalayak bahwa Pendidikan menjadi tanggung jawab semua pihak tanpa terkecuali. Peran masyarakat untuk terlibat aktif dalam membangun ekosistem pendidikan yang sehat di Indonesia ini sangat dibutuhkan mulai dari lingkungan terkecil.

Sebagaimana pasal 6 ayat 2 UU No 20 Tahun 2003 bahwa setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. Lebih jauh lagi, semoga kebijakan zonasi ini dapat dikaji betul agar nilai manfaatnya dapat dirasakan seluruh masyarakat dan memajukan kualitas pendidikan Indonesia. Bukan sebatas politisasi anggaran atau kepentingan segelintir pihak yang melihat Pendidikan sebagai komoditas industri.

Oleh: Santri Agung