Ragam

Peran Serta Warga Tionghoa Dalam Perjuangan Kemerdekaan

Cirebon.Swara Jabbar Com.-

Oleh Jeremy Huang Wijaya.

Ada pepatah berkata 在我们居住的地方,我们必须为我们所居住的环境的福利而奋斗
Zài wǒmen jūzhù dì dìfāng, wǒmen bìxū wèi wǒmen suǒ jūzhù de huánjìng de fúlì ér fèndòu artinya Dimana kita tinggal wajib memperjuangkan kesejahteraan lingkungan hidup yang kita tinggal. Dimana tanah di pijak,langit dijunjung artinya membela dan memperjuangkan daerah tempat tinggalnya

Sejak kedatangan Fai Xian ke Nusanta ketika perjalanan Pulang dari India ke Tiongkok China membuka jalan hubungan dagang antara Tiongkok China dengan Nusantara. Banyak diantara mereka yang menetap dan tinggal di Nusantara, menikah dengan penduduk setempat.

Warga Tionghoa juga berperan serta dalam memperjuangkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Geger Pecinan awal mula perjuangan warga Tionghoa melawan VOC. Geger Pacinan (juga dikenal sebagai Tragedi Angke; dalam bahasa Belanda: Chinezenmoord, yang berarti “Pembunuhan orang Tionghoa”) merupakan sebuah pogrom terhadap orang keturunan Tionghoa di kota pelabuhan Batavia, Hindia Belanda (sekarang Jakarta). Kekerasan dalam batas kota berlangsung dari 9 Oktober hingga 22 Oktober 1740, sedangkan berbagai pertempuran kecil terjadi hingga akhir November tahun yang sama.

Keresahan dalam masyarakat Tionghoa dipicu oleh represi pemerintah dan berkurangnya pendapatan akibat jatuhnya harga gula yang terjadi menjelang pembantaian ini. Untuk menanggapi keresahan tersebut, pada sebuah pertemuan Dewan Hindia (Raad van Indië), badan pemimpin Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), Gubernur-Jenderal Adriaan Valckenier menyatakan bahwa kerusuhan apapun dapat ditanggapi dengan kekerasan mematikan. Pernyataan Valckenier tersebut diberlakukan pada tanggal 7 Oktober 1740 setelah ratusan orang keturunan Tionghoa, banyak di antaranya buruh di pabrik gula, membunuh 50 pasukan Belanda.

Penguasa Belanda mengirim pasukan tambahan, yang mengambil semua senjata dari warga Tionghoa dan memberlakukan jam malam. Dua hari kemudian, setelah ditakutkan desas-desus tentang kekejaman etnis Tionghoa, kelompok etnis lain di Batavia mulai membakar rumah orang Tionghoa di sepanjang Kali Besar. Sementara itu, pasukan Belanda menyerang rumah orang Tionghoa dengan meriam. Kekerasan ini dengan cepat menyebar di seluruh kota Batavia sehingga lebih banyak orang Tionghoa dibunuh.

Valckenier mengumumkan bahwa ada pengampunan untuk orang Tionghoa pada tanggal 11 Oktober, kelompok pasukan tetap terus memburu dan membunuh orang Tionghoa hingga tanggal 22 Oktober, saat Valckenier dengan tegas menyatakan bahwa pembunuhan harus dihentikan. Di luar batas kota, pasukan Belanda terus bertempur dengan buruh pabrik gula yang berbuat rusuh. Setelah beberapa minggu penuh pertempuran kecil, pasukan Belanda menyerang markas Tionghoa di berbagai pabrik gula. Orang Tionghoa yang selamat mengungsi ke Bekasi.

Diperkirakan bahwa lebih dari 10.000 orang keturunan Tionghoa dibantai. Jumlah orang yang selamat tidak pasti; ada dugaan dari 600 sampai 3.000 yang selamat. Pada tahun berikutnya, terjadi berbagai pembantaian di seluruh pulau Jawa. Hal ini memicu suatu perang selama dua tahun, dengan tentara gabungan Tionghoa dan Jawa melawan pasukan Belanda. Setelah itu, Valckenier dipanggil kembali ke Belanda dan dituntut atas keterlibatannya dalam pembantaian ini; Gustaaf Willem van Imhoff menggantikannya sebagai gubernur jenderal. Hingga zaman modern, pembantaian ini kerap ditemukan dalam sastra Belanda. Pembantaian ini mungkin juga menjadi asal nama beberapa daerah di Jakarta.

Kemudian ada juga Perang Kuning. Perang kuning Geel Orlog adalah perlawanan aliansi Tionghoa Jawa Melawan VOC. Perang kuning akibat tindakan VOC yang menyerbu Lasem tahun 1679, karena warga Tionghoa di Lasem dianggap menjadi pesaing perdagangan VOC, Pemimpin Lasem, Raden Panji Margono dan Sahabatnya Oei Ing Kiat memutuskan untuk melakukan perlawanan terhadap VOC.Oei Ing Kiat kemudian menghubungi kenalannya yaitu Tan Kee Wie seorang pembuat batu bata yang juga merangkap sebagai master kung fu. Mereka juga mendapat bantuan Souw Pan Chiang alias Raden Sepanjang dan Tan Sin Ko alias Sin She.

Dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Gedung Sumpah yang di jadikan pertemuan para pemuda 28 Oktober 1928 adalah rumah Milik Sie Kong Liong. empat Tionghoa yang hadir di Kongres Pemuda II yakni Kwee Thiam Hong anggota Jong Sumatranen Bond yang mengajak tiga sahabatnya anggota kepanduan: Oey Kay Siang, Liauw Tjoan Hok, Tjio Djien Kwie.

Ang Yan Goan Pimpinan Redaksi Koran Sin Po tanggal 10 November 1928 merupakan surat kabar yang pertama kali memuat dan memberitakan lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman, ketika media lain tidak berani memuat lagu Indonesia Raya, Koran Sin Po berani memuat lagu Indonesia Raya.

Saat Itu WR Supratman berusaha meminta lagu Indonesia Raya dimuat di koran koran setempat tetapi tidak ada yang berani, setelah di tolak oleh beberapa media, WR Supratman memutuskan menemui Ang Yan Goan pemilik koran Sin Po, saat itu Ang Yan Goan tergugah dengan Lirik dan musik yang dimainkan WR Supratman dihadapannya.
Sosok Yo Kim Tjan juga berperan mendistribusikan lagu Indonesia Raya dalam piringan hitam ke berbagai pihak. Yo Kim Tjan adalah pemilik orkestra Populair dimana WR Supratman juga sebagai pemain biola paruh waktu disana. Saat itu di rekam dalam dua versi yaitu yang pertama aslinya dibawakan oleh WR Supratman langsung sedangkan versi kedua dalam format keroncong, direkam dalam piringan hitam.

Kemudian peristiwa Rengasdengklok di rumah milik Djiauw Kie Song Tanggal 16 Agustus 1945 .Rumah asli Djiauw Kie Siong mulanya berada di pinggiran Sungai Citarum di Kampung Bojong.

Namun pada 1957, rumah dipindahkan di lokasi yang berjarak sekitar 150 meter dari tempat aslinya.
Kemudian ada warga Tionghoa yang masuk dalam BPUPKI yaitu Oei Tjiong Hauw, Oey Tiang Tjoei, Mr Tan Eng Hua dan Liem.Koen Hian .Yang jadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah Jap Tjwan Bing.
Bagaimana dengan Tionghoa di Cirebon?

Kelenteng Talang Cirebon pada masa perang kemerdekaan menjadi pusat logistik melawan penjajahan Jepang dan Penjajahan Belanda. Kelenteng Talang Cirebon juga menjadi tempat merawat para Pejuang yang terluka. Liem Khin Yun (1913-1996) dan Kwee Ek Tjiang yang lahir 23 November 1914 dan Wafat 10 November 1989 yang merupakan pengurus Majelis Agama Kong Hu Cu Indonesia dan juga merupakan pengurus Kelenteng Talang Cirebon ikut berjuang melawan penjajah. Kemudian ada Lie Ing Guan Ada juga Pek Keng Sioe tokoh Cirebon yang ikut berjuang merebut kemerdekaan. Pek Keng Sioe anggota Legiun Veteran.