Pemerintahan

Focus Group Discussion: Hukum, Kriminal, Kriminalisasi dan Stigma

Bandung.Swara Jababr Com.-Menyikapi pemberitaan bebasnya 23 narapidana tipikor di tahun 2022 ini dan kembali berkiprah di berbagai bidang di masyarakat serta stigma masyarakat, Forum bhayangkara indonesia melaksanakan FGD yang diselenggarakan di gedung indonesia menggugat pada hari minggu tanggal 18 september 2022 yang bertemakan “hukum,kriminal, dan kriminalisasi” dan mengundang 3 narasumber yaitu Mochamad hanif, Yenny Sucipto S.pt., M.si, Aang Sirojul Munir, S.H M.H.

Dalam forum ini para narasumber mengupas mengenai tentang gratifikasi baik dari kacamata hukum maupun fenomena yang ada di masyarakat.

Masyarakat menganggap bahwa gratifikasi adalah hal yang sama dengan korupsi. Padahal ada perbedaan dalam arti, korupsi itu adalah tindak pidana yang merugikan keuangan negara, sedangkan gratifikasi adalah pemberian suatu barang atau uang terhadap pejabat publik.

Dalam Pasal yang diberi penjelasan itu adalah Pasal gratifikasi yang terdapat dalam ketentuan Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 juncto UU No. 20/2001, yang menyatakan “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”.

“Gratifikasi itu berawal dari kata grats dalam bahasa inggris yang berarti terimakasih, maka sebetulnya gratifikasi adalah bentuk kriminalisasi. Kriminalisasi artinya penentuan suatu perilaku yang sebelumnya tidak dipandang sebagai suatu kejahatan menjadi suatu perbuatan yang dapat dipidana. Hal ini karena sebelumnya gratifikasi ini bukan suatu tindak pidana melainkan kebiasaan masyarakat kita untuk berterimakasih dengan memberikan sesuatu yang berbentuk materil” ujar Aang seorang praktisi hukum.

Namun ekses dari gratifikasi menjadi bermasalah jika mengganggu performa pelayanan publik yang menjadi kewajibannya.

Inilah yang melandasi Gratifikasi menjadi permasalahan dan dilarang demi menjaga akuntabilitas layanan.

Dalam masa peralihan ini tentu tidak mudah dalam menerapannya, bahkan terjadi pula over kriminalisasi yaitu Tindakan kriminalisasi yang berlebihan yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan.

Aang pun menjelaskan bahwa gratifikasi berbeda dengan suap. Sementara suap, menurutnya berdasarkan referensi dari Prof. Dr. Pujiono., SH., M.Hum guru besar Fak Hukum Undip mengatakan terlebih dahulu ditemukan unsur mens reanya yaitu “meeting mainning” atau pertemuan kehendak antara si pemberi dan si penerima, dengan catatan si penerima memeliki kewenangan yang akan membantu terjadiannya sesuatu yang di kehendaki oleh keduanya atau sesuatu yang tidak dikehendaki pemberi dan penerima karena suap memiliki satu perencanaan untuk mensukseskan satu proyek atau program yang berpotensi merugikan keuangan negara.

Artinya antara penerima dan pemberi bertemu merencanakan. Inilah unsur yang harus dipenuhi. Jadi penerima dan pemberi sama-sama menerima sangsi pidana. Jika penerima menerima sangsi maka pemberinya pun demikian.

Yenny seorang penggiat anti korupsi pun mengupas hal tersebut “kita harus melihat terlebih dahulu gratifikasi yang terjadi, kalo memang ada potensi relasi antara penerima dan pemberi secara politik untuk mensukseskan proyek yang merugikan negara maka ini harus dihukum, namun jika tidak maka seharusnya tidak dihukum”

Yenny pun menegaskan bahwa gratifikasi itu harus juga di selidiki secara mendalam karena ini bisa jadi di gunakan senjata oleh lawan politik dari si penerima sehingga membuat framing yang buruk di masyarakat, sejalan dengan stigma masyarakat saat ini.

Hanif seorang aktivis 98 memberikan pandangannya “Hukum itu adalah produk politik yang memang kental dengan berbagai kepentingan, maka pasal tentang gratifikasi atau suap pun harus dikupas apakah ada kepentingan politik di dalamnya atau tidak” ujarnya

“Karena ini bisa jadi pisau bermata dua dalam fenomena penanganannya, maka ketika pejabat publik atau seseorang yang pernah terjerat gratifikasi itu tidak merugikan negara dan masyarakat harusnya tetap punya kesempatan kembali untuk menjadi pejabat publik jika memang tidak dicabut hak politiknya ” ujar hanif

Dalam FGD itupun diambil kesimpulan bahwa semua sepakat dengan semangat penanganan korupsi demi menjaga wibawa dan performa pemerintahan, namun tidak semua tipikor tersebut terkena pasal menyebabkan kerugian negara, edukasi penanganan korupsi terkait unsur suap dan gratifikasi perlu dilakukan agar tidak menjadi alat framing lawan politik.

Sementara tidak semua tipikor itu merugikan keuangan negara, sehingga jika pasal ini disamaratakan untuk semua terpidana tipikor maka terjadi over kriminalisasi yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan. Jika pejabat publik pernah terjerat tipikor namun tidak dicabut hak politiknya dan tidak terkena pasal merugikan keuangan negara maka tetap terbuka ruang pengabdian menjadi pejabat publik baik legislatif,eksekutif BUMN ataupun BUMD, asal sesuai kompetensinya dan dinilai mampu untuk jabatan tersebut. (**)