Politik

DPR dan Pemerintah Sepakati RUU Bea Meterai Dibawa ke Paripurna

JAKARTA.SJN COM.-Komisi XI DPR RI bersama Pemerintah secara resmi menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Bea Meterai untuk diteruskan ke pembahasan tingkat II atau disahkan menjadi Undang-Undang dalam Paripurna DPR. Beleid tersebut nantinya akan mengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1985 tentang Bea Meterai, yang hanya mengatur dokumen dalam bentuk kertas dan belum mengatur dokumen elektronik.

 

Jika disahkan, RUU Bea Meterai juga akan mulai memberlakukan satu tarif meterai yakni Rp 10.000 per lembar meterai mulai 1 Januari 2021. Selama ini bea materai memiliki dua tarif yakni Rp 3.000 dan Rp 6.000 per lembar. Selain itu, batas nominal dokumen yang yang dikenai bea meterai, yaitu di atas Rp 5 juta.

 

Ketua Komisi XI DPR RI Dito Ganinduto mengatakan bahwa RUU tersebut pada pembicaraan tingkat I telah disetujui oleh hampir semua Fraksi di Komisi XI DPR RI. Dari sembilan fraksi, tercatat hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang memberikan catatan.

 

“RUU Bea Meterai tadi telah kita sepakati bersama pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan HAM, untuk kemudian kita sampaikan kepada Pimpinan DPR untuk dilakukan pembahasan tingkat II di Paripurna nanti untuk disahkan,” kata Dito usai menandatangani berkas acara pembahasan RUU Bea Meterai antara Komisi XI DPR RI bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum dan HAM di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (3/9/2020).

 

Pembahasan yang telah berlangsung sejak 2018 dan kemudian carry over dalam Prolegnas 2020 ini, menghasilkan draf rancangan yang berisikan 32 pasal. Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam paparan sebelumnya mengatakan bahwa perubahan 6 klaster RUU Bea Meterai disusun berdasarkan perubahan zaman dan lebih memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.

 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan klaster pertama yang disepakati memuat perluasan definisi dokumen objek bea meterai yang meliputi dokumen dalam bentuk kertas dan elektronik. Selain itu, ada penambahan objek berupa dokumen lelang dan dokumen transaksi surat berharga.

 

Klaster kedua memuat perubahan tarif bea meterai menjadi tunggal senilai Rp 10.000, dari yang sebelumnya Rp 3.000 dan Rp 6.000. RUU Bea Meterai ini dipastikan tetap memihak usaha kecil dan menengah karena tidak perlu membayar bea meterai untuk dokumen bernilai di bawah atau sama dengan Rp 5 juta. Pada ketentuan yang lama, dokumen di atas Rp 1 juta wajib membayar bea meterai. Klaster ketiga memuat pengaturan saat terutang yang diperinci per jenis dokumen.

 

Sementara klaster keempat berisi subjek bea meterai terbaru yang mengatur perincian pihak terutang berdasarkan jenis dokumen. Klaster kelima memuat ketentuan pembayaran bea meterai dengan menggunakan bea meterai elektronik yang sesuai perkembangan teknologi. Menurut Sri Mulyani, pengaturan tersebut juga akan memberikan kepastian hukum bagi dokumen-dokumen elektronik.

 

Klaster keenam berisi sanksi atas ketidakpatuhan membayar bea meterai. Sri Mulyani menyebut Panja menyepakati ada sanksi berupa administratif maupun pidana terhadap ketidakpatuhan dan keterlambatan pemenuhan kewajiban pembayaran bea meterai.

 

“Sebagaimana bapak dan ibu maklumi, pada pembahasan tingkat Panja telah disepakati berbagai penyesuaian kebijakan mengenai Bea Meterai secara fundamental untuk menggantikan regulasi yang selama 34 tahun belum pernah mengalami perubahan. Hal terebut dilakukan guna menyesuikan kondisi ekonomi, sosial, hukum, dan teknologi informasi yang berkembang pesat,” tutup Menkeu. (alw/sf)